Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kurangnya Penggunaan Teknologi Terbarukan Di Pertanian

A. Sistem Alih Teknologi Pertanian Yang Lemah

1. Material Transfer

Mekanisasi pertanian pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan efisiensi lahan dan tenaga kerja, meningkatkan luas lahan yang dapat ditanami, menghemat energi dan sumber daya (benih, pupuk, dan air), meningkatkan efektivitas, produktivitas dan kualitas hasil pertanian, mengurangi beban kerja petani, menjaga kelestarian lingkungan dan produksi pertanian yang berkelanjutan, serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani (Salokhe dan Ramalingam, 1998). Awal perkembangan mekanisasi pertanian di Indonesia ditandai dengan pemanfaatan alat dan mesin pertanian peninggalan Belanda di Sekon. Alat dan mesin pertanian peninggalan Belanda ini kemudian dipindahkan ke Jawa dan digunakan untuk pengenalan serta pengembangan mekanisasi pertanian di Indonesia. Pada tahun 1950- an mulai didirikan pool-pool traktor di berbagai wilayah di Indonesia. Dengan bantuan pool traktor dan alat-alat pertanian ini, dilakukan pembukaan lahan di berbagai daerah. Pada awal-awal perkembangan mekanisasi pertanian ini, kita masih mengadopsi langsung teknologi dari negara maju. Padahal kondisi lahan pertanian kita dan sistem usaha taninya jauh berbeda dengan negara asal teknologi. Akibatnya berbagai masalah timbul, seperti batas sawah menjadi hilang dan lapisan bawah yang kedap air rusak. Harapan untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan juga tidak tercapai. Proses alih teknologi seperti ini sering disebut sebagai material transfer.


2. Design Transfer

Pada awal perkembangan mekanisasi pertanian, alat dan mesin pertanian yang dipakai pada umumnya berasal dari negara industri ; setelah terjadi pergeseran pemakaian alat dan mesin pertanian dari yang besar ke yang lebih kecil buatan Jepang, petani mulai tertarik untuk membelinya karena harga yang lebih murah dan aplikasi yang lebih sesuai dengan kondisi pertanian Indonesia. Konsep mekanisasi pertanian selektif juga mulai diperhatikan. Dalam konsep ini mekanisasi pertanian harus dilakukan dengan selektif (tidak full mechanized) dari mulai tanam sampai panen. Konsep ini juga memperhatikan daerah kerja, tanah dan keadaan sosial ekonomi petani dalam menerapkan mekanisasi pertanian. Dengan demikian diharapkan mekanisasi pertanian tidak menyebabkan terjadinya pengangguran. Dari berbagai studi dihasilkan formula pengembangan introduksi secara bertahap mulai dari (a) survei, (b) pilot proyek, (c) evaluasi, dan (d) pengembangan. Proses Alih Teknologi seperti tersebut sering disebut sebagai Design Transfer. Dalam proses ini ada kecenderungan untuk mengadopsi design dari luar kemudian dilakukan penyesuaian dengan kondisi yang ada di Indoneisa. Kemampuan yang baru dicapai adalah mengadopsi design dari luar dan kemudian melakukan pabrikasi di dalam negeri. Disamping ada faktor knowledge yang harus dikuasai, diperlukan juga investasi untuk membangun industri teknologi tersebut. Bukan hanya design perangkat keras yang ditransfer namun juga yang menyangkut kelembagaan, setelah makin banyak sumber daya manusia yang dikirim untuk belajar ke luar negeri, baik dalam program bergelar maupun dalam pelatihan pelatihan.

3. Capacity Transfer

Dari tahun ke tahun kemampuan untuk melakukan alih teknologi di bidang alat dan mesin  pertanian semakin meningkat. Jika kemampuan ini diukur dengan jumlah produsen dan industri alat dan mesin pertanian, hal ini dapat dijadikan acuan dalam Capacity transfer. Alih teknologi dalam memproduksi teknologi mekanisasi pertanian pada tahun 2000 terdapat kurang lebih 30 industri menengah dan besar penghasil alsintan.

Lambatnya pertumbuhan industri alsintan Indonesia disebabkan karena riset yang masih kurang. Walaupun lembaga riset pemerintah maupun swasta sudah berdiri sejak lama, tetapi interaksi antara lembaga riset dengan industri alsintan masih kurang. Akibatnya industri alsintan dalam negeri memiliki keterbatasan dalam kemampuan mendesain alsintan yang sesuai dengan kondisi lahan setempat. Kelemahan tersebut diperparah oleh rendahnya daya beli petani sebagai konsumen alsintan sementara pemberian kredit pertanian oleh pemerintah masih sangat rendah. Masuknya alsintan impor dari China dengan harga yang sangat murah juga menjadi tantangan nyata terhadap industri alsintan Indonesia. Namun alsintan China tersebut sudah mulai dirasakan merugikan oleh petani karena mutunya yang sangat rendah (PSP-IPB dan Deptan, 2003).

B. Penerapan Teknologi Pertanian Yang Kurang Tepat

Teknologi merupakan penerapan dari ilmu pengetahuan.  Dalam dunia pertanian, sudah cukup banyak teknologi yang bisa diterapkan untuk mengatasi berbagai masalah dibidang pertanian. Baik itu teknologi yang dihasilkan oleh berbagai lembaga penelitian, maupun teknologi turun temurun yng sudah menjadi kearifan lokal.  Tetapi sayangnya, pemanfaatan teknologi-teknologi tersebut masih tergolong kurang.  Hal ini dimungkinkan karena informasi tentang teknologi tersebut belum sampai kepada mereka, atau mereka masih meragukan akan manfaat teknologi tersebut.  Mereka khawatir akan gagal panen jika menerapkan cara baru yang baru mereka kenal.

Petani memerlukan contoh yang nyata dari kegiatan budidaya. Oleh karena itu, demontrasi plot (demplot) sangat diperlukan untuk dilakukan.  Demplot merupakan suatu metode penyuluhan di lapangan yang cukup tepat untuk memperlihatkan secara nyata tentang cara serta hasil dari penerapan teknologi pertanian yang telah terbukti bermanfaat bagi petani.

Aplikasi dari teknologi sendiri sangatlah beragam diberbagai bidang kehidupan manusia mulai dari informasi, transportasi  bahkan sampai pada aspek yang sangat krusial dalam kehidupan manusia yaitu Pertanian. Mencermati fenomena globalisasi yang terjadi sekarang ini, maka Pertanian Indonesia akan menghadapi ancaman-ancaman yang perlu diantisipasi, tetapi sekaligus juga mempunyai peluang untuk dimanfaatkan dengan baik. Ancaman dan peluang yang berkaitan dengan fenomena globalisasi ini perlu ditanggapi secara positif. Tentunya salah satu faktor penting yaitu dengan  pemanfaatan dan penguasan teknologi pertanian yang handal. Peran teknologi pertanian cukup menonjol untuk dapat memberikan driving force bagi  pertumbuhan pembangunan kususnya dibidang pertanian, untuk menahan ancaman-ancaman dan sekaligus peluang yang ditimbulkan dari fenomena globalisasi. Peran teknologi pertanian ini antara lain dalam usaha-usaha peningkatan dan penjaminan mutu, baik mutu produk (baik mutu gizi maupun fisik), kemasan, penampilan produk. Disamping itu pemilihan dan penggunaan teknologi secara tepat akan berpeluang untuk menekan biaya produksi, menekan harga jual, sehingga akan berpengaruh meningkatkan daya saing. Pemanfaatan dan penguasaan teknologi pertanian berhubungan langsung dengan  peningkatan produktivitas dan nilai tambah. Produktivitas usaha padi yang ada di Indonesia baru sebesar 4,5 ton/ha, dapat dilipat gandakan menyamai produktivitas di Vietnam (8 ton/ha) dengan mengaplikasikan teknologi yang tepat.

Kenyataan menunjukan setelah lama melaksanakan pembangunan, termasuk pembangunan sektor pertanian, kontribusi teknologi dalam produksi pertanian di Indonesia masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Bahkan dalam beberapa sub sector, seperti hortikultura telah terjadi negatif tren baik dari segi jumlah maupun produktivitas. Hal ini terutama dikarenakan ketidak mantapannya program pembangunan teknologi pertanian yang ada. Secara keseluruhan dalam sektor pertanian, maupun secara parsial di masing-masing sub sektor tidak ditemukan adanya skenario pembangunan teknologi yang efektif dan berkesinambungan. Disisi lain dukungan pemerintah terutama untuk pendanaan kegiatan penelitian relatif sangat kecil. Dibandingkan dengan Negara ASEAN saja, anggaran yang disediakan pemerintah untuk penelitian dan aplikasi teknologi dibidang pertanian jauh lebih kecil. Hal ini tentu sangat tidak kondusif bagi upaya peningkatan peran teknologi dalam pembangunan teknologi pertanian demi terciptanya pertanian yang tangguh dan berdaya saing. Dengan demikian, potensi teknologi yang dipunyai Indonesia perlu lebih diarahkan pada bidang pertanian. Dengan kata lain perlu dijadikan sebagai gambaran platform bagi pengembangan teknologi Indonesia

Teknologi merupakan suatu cara ataupun sarana yang diciptakan manusia untuk memenuhi kepuasannya.  Dalam penerapan teknologi pertanian misalnya, petani akan merasa puas dan bangga jika tanamannya berhasil dipanen sesuai harapan. Dengan demplot diperlihatkan secara nyata tentang cara serta hasil dari penerapan teknologi pertanian yang telah terbukti bermanfaat bagi petani.

 Pertanian Sehat Indonesia (PSI) melaksanakan demplot di setiap Klaster Program Pemberdayaan yang ditanganinya. Dalam demplot tersebut, PSI mencoba memperkenalkan cara bertanam padi secara sehat. Pertanian yang mengacu pada sistem pertanian berkelanjutan.

Dengan bertani secara sehat diharapkan kesuburan dan kesehatan lahan semakin meningkat. Musuh alami hama dan penyakit tanaman semakin banyak sehingga hama dan penyakit semakin berkurang. Biaya produksi berkurang dengan pemanfaatan bahan baku lokal. Sehingga usaha bertani tidak hanya saat ini tapi akan berlanjut terus ke anak cucu mereka, karena lahan yang diwariskan merupakan lahan yang subur dan produktif.

Paket teknologi pertanian yang diterapkan dalam demplot ini merupakan teknologi yang berupaya mewujudkan sistem pertanian yang berwawasan ekonomis, ekologis, dan berkelanjutan (sustainable agriculture). Teknologi yang diterapkan tersebut adalah :
  1. Pemberian pupuk organik sebagai pupuk dasar (pembenah tanah) dilakukan untuk memperbaiki, meningkatkan dan mempertahankan kualitas tanah.
  2. Sistem tanam jajar legowo, yaitu sistem tanam berselang-seling dua baris, dan satu baris dikosongkan. Sistem jajar legowo yang diterapkan adalah jajar legowo 2:1.
  3. Penanaman bibit muda. Biasanya petani menanam bibit berumur di atas 20 hari. Bibit yang ditanam pada demplot ini berumur 15 hari. Hal ini dimaksudkan agar bibit cepat pulih, perakaran lebih kuat, tahan rebah, tahan kekeringan, dan penyerapan pupuk lebih efisien.
  4. Menanam bibit tidak terlalu banyak (1-3 tanaman per lubang). Petani biasanya menanam lebih dari 5 tanaman per lubang. Dengan menanam bibit yang sedikit persaingan mendapatkan hara akan berkurang, sehingga perbanyakan rumpun akan semakin cepat dan banyak. Pada saat demplot dilaksanakan, sedang banyak serangan hama keong emas sehingga bibit yang ditanam berjumlah 3 tanaman.
  5. Pemupukan dilakukan ecara berimbang mengacu pada hasuil pengukuran/uji dengan menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Hal ini dilakukan agar pemupukan yang dilakukan sesuai kebutuhan, tidak berlebih. Pupuk sintetis masih sangat dibutuhkan karena pupuk ini merupakan penyuplai hara utama. Pupuk sintetis menurut beberapa pakar pertanian tidak berbahaya bagi kesehatan. Dampak negatifnya bagi lahan dapat diimbangi dengan penggunaan pupuk organik (pembenah tanah). Pupuk pelengkap cair yang diberikan adalah pupuk organik cair (POC) dari daun gamal (Glyricida sepium) dan rendaman sabut kelapa (POC Kalium).
  6. Pengendalian hama dan penyakit tanaman ditekankan pada penggunaan bahan-bahan yang tidak membahayakan bagi individu, masyarakat, dan lingkungannya.
C. Semakin Banyaknya Penerapan Teknologi Pertanian Tidak Ramah Lingkungan.

Definisi teknologi pertanian ramah lingkungan adalah teknologi yang tidak merusak lingkungan dan tetap menghasilkan produktivitas yang tinggi.

Pengertian lingkungan sangat luas dan berikut ini teknologi yang tidak ramah lingkungan yaitu,Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang menyebabkan terjadinya pemanasan global dan berdampak langsung dan tidak langsung terhadap system pertanian.  Pemanasan global akan menyebabkan perubahan iklim, perubahan pola curah hujan. Banjir dan kekeringan bergeser polanya yang pada gilirannya merugikan usahatani petani. Pemanasan global sudah menjadi issu penting saat ini baik pada tingkat nasional, regional, maupun pada tingkat international.

Secara teoritis pemanasan global terjadi akibat terakumulasinya emisi Gas Rumah Kaca (GRK) seperti karbondioksida (CO2) dan metana (NH4) di langit yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas manusia termasuk aktivitas pertanian sehingga GRK yang naik kelangit terhalang dan terpantul kembali kebumi menyebabkan panas yang dirasakan seluruh mahluk dipermukaan bumi semakin tinggi.

Untuk menghindari hal tersebut maka teknologi yang mengurangi produksi CO2 dan NH4 harus terus dikembangkan oleh seluruh petani. Beberapa teknologi yang sudah terbukti mengurangi emisi GRK adalah dengan pemanfaatan pupuk organic menggantikan pupuk kimia seperti Urea, pospor, kalium dan lain-lain. Keuntungannya dengan pupuk organic adalah selain menyediakan hara bagi tanaman yang lebih seimbang unsur-unsurnya, juga secara bertahap memperbaiki kesuburan tanah.Persoalannya adalah pupuk organik yang masih sulit tersedia di pasaran, padahal sesungguhnya dapat dibuat dengan mudah oleh petani itu sendiri.

Produksi Emisi GRK lainnya adalah pada proses pelapukan sisa-sisa tanaman atau ternak secara alami. Oleh karena itu sisa-sisa tanaman dan ternak tersebut perlu diolah dengan teknologi sederhana yaitu teknologi pelapukan yang menggunakan activator misalnya; MDEC sehingga proses pelapukan dapat berlangsung cepat dan yang terpenting GRK tersebut sebagian termanfaatkan dalam proses pelapukan oleh mikroorganisme. Dan itu berarti dapat mengurangi GRK melayang kelangit.

Persoalan yang paling besar adalah budaya petani kita yang sudah manja dengan pupuk kimia dan kurangnya pemahaman terhadap manfaat pupuk organic sehingga mereka tidak tertarik meluangkan waktu dan tenaga untuk membuat pupuk organik. Ada kesan di kalangan mereka bahwa pekerjaan membuat pupuk organik dari kotoran ternak adalah pekerjaan yang menjijikan.

Kebijakan yang diperlukan dalam mendorong dan memotivasi petani untuk memproduksi pupuk organick dan menggunakan sendiri pada lahan usaha taninya adalah; adanya pasar hasil produksi pertanian organik yang lebih tinggi harganya, dan cara yang paling memungkinkan mewujudkan itu adalah dimulai dari kalangan pemerintah sendiri untuk mengkonsumsi produk tersebut.

Untuk mengajak masyarakat hidup secara baik, maka kita harus lebih dahulu menunjukkan sikap yang tidak mentolerir atau dengan kata lain untuk mengajak masyarakat mengkonsumsi produk organik lebih dahulu, bukan sekedar bicara.

Menyerap dan menghargai produk petani kita, adalah hal yang sangat mulia. Tentu kita harus memulainya dari diri dan instansi kita. Kalau semua unsur pemerintah mempunyai pandangan dan sekaligus mempraktekkan seperti itu maka dengan sendirinya cepat berkembang produk organik tersebut tanpa susah mencari pasar dari luar. Dampak positif dari kebijakan itu adalah secara otomatis petani pasti mengusahakannya karena tersedia pasar yang menggiurkan. dan yang paling utama kita berinvestasi untuk penyelamatan

D. Solusi Untuk Mengatasi Teknologi Pertanian
Untuk mengembangkan kelembagaan mekanisasi pertanian, strategi yang dapat dilakukan antara lain

1. Lembaga/Asosiasi Petani

Lembaga petani perlu dibangun dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kepada petani-petani yang merupakan anggotanya, serta melobi pemerintah dalam hal  kepentingan usahatani. Melalui lembaga pertanian ini diharapkan dapat tercipta komunikasi antara pemerintah dengan petani sehingga petani dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingannya dengan lebih baik. Lembaga seperti ini hendaknya dibangun atas inisiatif petani, bukan dari pemerintah.


2. Kebijakan Perdagangan Alsintan

Pengadaan, distribusi dan penggunaan alat dan mesin pertanian dipengaruhi oleh kebijakan perdagangan. Pemerintah perlu menciptakan iklim yang perdagangan yang kondusif dengan menaikkan proteksi terhadap impor alsintan, terutama terhadap negara yang melakukan dumping. Kebijakan proteksi ini selain dapat mendorong perkembangan industri alsintan dalam negeri juga dapat memberikan proteksi terhadap petani sebagai konsumen. Alsintan produksi luar seringkali tidak sesuai untuk digunakan di Indonesia karena kondisi lahan dan ergonomis yang berbeda. Selain itu, pemerintah juga perlu untuk memeratakan distribusi alsintan di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu caranya yaitu dengan tidak memberikan bantuan alsintan hanya pada satu jenis alsintan tertentu atau di daerah tertentu saja. Distribusi alsintan harusnya disesuaikan dengan kebutuhan alsintan di tiap wilayah.

3. Riset dan Pengembangan

Riset dan pengembangan yang dilakukan oleh pihak swasta saja tidak cukup. Pemerintah harus meningkatkan riset dan pengembangan yang dilakukan melalui 16 lembaga pemerintah yang ada seperti BBP Mektan dan LIPI serta membina kerjasama antara lembaga riset pemerintah, swasta, universitas dan asing. Dengan demikian inovasi teknologi dapat lebih ditingkatkan dan menguntungkan semua pihak. Dalam riset dan pengembangan yang dilakukan, perlu juga diciptakan penghubung antara peneliti dengan petani. Penghubung ini selain bertugas untuk mendemonstrasikan teknologi baru kepada petani dan meningkatkan kesadaran petani akan pentingnya teknologi, juga berfungsi sebagai sarana bagi petani untuk menyampaikan mengenai jenis alsintan apa yang dibutuhkan dan tingkat mekanisasi seperti apa yang diharapkan. Jadi melalui penghubung ini dapat tercipta feed back bagi penelitian selanjutnya.

4. Kredit

Selama ini kesulitan perolehan kredit selalu menjadi kendala bagi petani dalam usaha pengembangan usahatani. Menurut Nuswantara (2003), Untuk mengatasi kendala ini, pemerintah perlu mempersiapkan upaya pembentukan bank pertanian. Bank pertanian hendaknya terletak di daerah-daerah sentra produksi pertanian, terutama di pedesaan dan kota-kota kecil yang mudah dijangkau petani. Melalui bank pertanian diharapkan dapat memberi kemudahan bagi petani dalam memperoleh kredit, baik itu sebagai modal usaha maupun untuk pembiayaan aktivitas pertanian.

Kredit yang diberikan jangan dibatasi pada jenis alsintan tertentu karena ini akan mempengaruhi pilihan petani terhadap alsintan yang akan digunakan. Petani harus diberikan kebebasan dalam memilih alsintan apa yang diinginkan dan yang sesuai dengan kebutuhannya.

5. Lembaga Pelatihan dan Pendidikan

Petani Indonesia pada umumnya berpendidikan rendah. Untuk mengintroduksi teknologi baru maka diperlukan pelatihan dan pendidikan agar petani mampu mengoperasikan alsintan dengan baik dan aman. Pelatihan dan pendidikan ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petani sehingga dapat mengembangkan diri di sub sektor lain maupun di bidang agroindusri, serta memajukan cara berpikir petani.

6. Produsen Alat dan Mesin Pertanian

Suplai alat dan Mesin berasal dari industri lokal dan impor. Kebijakan untuk mengembangkan industri dan perdagangan alsintan perlu memperhatikan kemampuan industri dalam negeri, sehingga tidak merupakan suatu kebijakan yang merugikan bagi pertumbuhan industri itu sendiri. Infant industrial concept dalam pengembangan mekanisasi pertanian mungkin menjadi salah satu alternatif yang perlu dipertimbangkan agar industri2 pemula dapat tetap bertahan dalam persaingan dengan industri besar dan canggih serta masuknya teknologi impor.

7. Fasilitas Produksi dan Perbaikan Lokal

Kondisi lahan di tiap daerah berbeda-beda. Dengan melakukan produksi lokal maka produksi dapat dilakukan secara spesifik sesuai dengan kondisi lahan setempat dan mengurangi biaya transportasi ke petani. Selain itu, penyerapan tenaga kerja di desa juga dapat ditingkatkan.

8. Penyediaan Jasa Penyewaan Mesin

Dengan penyediaan jasa penyewaan mesin, petani kecil yang tidak sanggup membeli alsintan dapat tertolong. Mereka dapat menggunakan mesin dan mendapatkan manfaat dari mesin tanpa harus mengeluarkan biaya besar untuk membelinya. Selain itu, petani yang berfungsi sebagai kontraktor dapat mendapatkan manfaat ganda. Mereka dapat memperoleh keuntungan dari pemanfaatan mesin maupun dari penyewaan mesin. Usaha jasa penyewaan alsintan oleh kelompok tani dan KUD kurang menguntungkan karena rendahnya profesionalisme dan pengelolaan yang kurang baik.

Karena itu, kemampuan manajemen kelompok tani atau KUD perlu ditingkatkan agar mampu mendapatkan keuntungan dari usaha sewa jasa yang dilakukan. Untuk mendukung perkembangan lembaga-lembaga tersebut di atas, maka peran pemerintah sangatlah penting. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah baik itu di bidang mekanisasi pertanian, pertanian secara umum, perdagangan, perindustrian, keuangan, keagrariaan, maupun ketenagakerjaan dan 18 pendidikan diharapkan dapat diselaraskan dalam mendukung perkembangan mekanisasi pertanian di Indonesia.

Posting Komentar untuk "Kurangnya Penggunaan Teknologi Terbarukan Di Pertanian"