Kepemilikan Tanah Untuk Dijadikan Areal Pertanian
1. Persengketan Tanah Antara Rakyat Dengan Pengusaha Dan Pemerintah
Dalam penyelesaian sengketa tanah, negara harus hadir. Kalau tidak, rakyat kecil akan selalu dikalahkan pemilik modal.
Karena itu, Mantan Ketua Komnas HAM, Prof Hafid Abbas mengatakan, pemerintah perlu merealisasikan keberpihakan kepada rakyat kecil terkait konflik agraria yang terjadi di daerah.
“Perbandingannya sesuai HAM bisa 1:2:3. Satu bagian untuk perusahaan atau korporasi, dua bagian rakyat menengah dan tiga bagian untuk rakyat kecil. Ini akan efektif dalam menanggulangi ketimpangan ekonomi,” papar Prof Hafid di Jakarta, (3/2). Program reforma agraria yang diusung Presiden Jokowi, dinilainya cukup brilian. Bahwa berkuasa,” kata dia. Diketahui, dalam kasus ini, H Halim mengklaim lahan seluas 405 hektar. Hal itu dikuatkan dengan adanya putusan pengadilan.
Sementara, 8 ribu kepala keluarga (KK) juga merasa berhak atas tanah tersebut. Alhasil, ratusan warga melakukan demo besar-besaran pada September 2017.
Mereka memblokade jalan dua desa serta mengusir petugas BPN yang hendak melakukan pengukuran lahan. Kondisi ini, dikhawatirkan bisa meletup di kemudian hari. disediakan 9 juta hektar lahan untuk rakyat kecil. Hanya saja, yang jadi pertanyaan apakah lahannya ada?
“Kenapa tidak yang jelas-jelas saja. Semisal, Sinar Mas punya lahan 6 hektar. Diambil alih saja kemudian dibagi dengan konsel 1:2;3 itu. Namun demikian, saya melihat gebrakan pak presiden ada positifnya,” terangnya.
Terkait sengketa tanah di daerah, salah satunya di Kecamatan Sematang Borang, Kota Palembang, Sumatera Selatan, dirinya menyarankan hadirnya pemerintah.
Hampir bisa dipastikan, warga dua kelurahan yakni Srimulya dan Sidomulya akan kalah karena berhadapan dengan H Halim, pengusaha besar asal Palembang.
“Aparat di sana tentu akan lebih berpihak kepada yang kuat. Terorinya kan, yang kuat bisa mengatur yang.
2. Banyak Lahan Petani Belum Bersertifikat
Masalah lahan pertanian akan menentukan berbagai program pemerintah dalam rangka percepatan dan perluasan ekonomi Indonesia ke depan. Salah satu aspek penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang bersumber dari tanah adalah kepastian hukum dalam mengusahakan lahan pertanian. Kepastian hukum tersebut mendorong masyarakat meningkatkan rasa aman dan kepercayaan untuk melakukan investasi guna memperoleh hasil yang optimal dari lahan yang diusahakannya. Dengan demikian, sertifikasi lahan menjadi penting dalam rangka optimalisasi sumber daya lahan untuk kepentingan ekonomi, termasuk usaha tani komoditas pertanian. Bersamaan dengan penerbitan sertifikat lahan akan tercipta tertib administrasi peruntukan tanah yang dapat menghindari konflik kepentingan di bidang pertanahan. Mengingat sertifikasi lahan berhubungan erat dengan kepemilikan lahan, untuk mendapatkan gambaran umum pemilikan dan penggarapan lahan pertanian, berikut ini diuraikan hasil penelitian Panel Petani Nasional (PATANAS) pada tahun 2007 yang merupakan kegiatan kerja sama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dengan JBIC (Jepang).
3. Sistem pewarisan tanah
1. Hukum waris adat
Hukum waris adat adalah hukum waris yang diyakini dan dijalankan oleh suku tertentu di Indonesia.
Beberapa hukum waris adat aturannya tidak tertulis, namun sangat dipatuhi oleh masyarakat pada suku tertentu dalam suatu daerah, dan bila ada yang melanggarnya akan diberikan sanksi.
Jenis hukum ini banyak dipengaruhi oleh hubungan kekerabatan serta stuktur kemasyarakatannya. Selain itu jenis pewarisannya pun juga beragam, antara lain :
2. Hukum waris islam
Hukum Waris Islam hanya berlaku pada masyarakat yang memeluk agama Islam, dimana sistem pembagian warisannya menggunakan prinsip individual bilateral. Jadi dapat dikatakan ahli waris harus berasal dari garis ayah atau ibu.Selain itu makna warisan adalah jika harta atau aset yang diberikan orang yang memberikan sudah meninggal dunia, jika orangnya masih hidup istilahnya disebut Hibah bukan warisan.Hal yang terpenting juga adalah orang yang menjadi ahli waris harus yang memiliki hubungan keluarga atau hubungan keturunan. Sebagai contoh paman, anak, cucu, dan lain sebagainya.
3. Hukum waris Perdata
Hukum waris perdata adalah hukum waris yang paling umum di Indonesia dan beberapa aturannya mirip dengan budaya barat. Warisan dapat diberikan kepada ahli waris yang terdapat surat wasiat atau keluarga yang memiliki hubungan keturunan atau kekerabatan, seperti anak, orang tua, saudara, kakek, nenek hingga saudara dari keturunan tersebut.
4. Banyak petani tidak mempunyai lahan
Keterbatasan akses lahan menjadi problem utama peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Pada tahun 2016, hanya ada 33 persen wilayah Indonesia yang dapat digunakan untuk pertanian, sisanya 67 persen adalah kawasan hutan lindung.
Pemanfaatan lahan pertanian pun terbentur dengan lahan hutan lindung. Karena lahan kategori hutan lindung di Indonesia tidak dapat dikembangkan menjadi lahan pertanian atau perkebunan.
Di Sleman sebagai contoh, luas lahan pertanian menyusut setiap tahun. Situasi itu berdampak terhadap penurunan produksi pertanian, terutama padi.
Tiap tahun di Sleman tercatat rata-rata lahan pertanian berkurang 200 hektare (ha). Hal ini tak pelak menyebabkan kebutuhan petani atas lahan menjadi meningkat, kondisi itu memicu pertumbuhan stratum tuan tanah elit baru dimana kekuasaan mereka terletak pada kepemilikan atas lahan-lahan yang mereka kuasai. Akhirnya peningkatan buruh tani tanpa tanah terjadi di Sleman.
Faktor-faktor lain mengancam pemilik lahan kecil di perdesaan. Ketika lahan menjadi langka dan kepemilikan makin terfragmentasi melalui pemberian warisan, keuntungan yang menciut dengan cepat dari pekerjaan pada lahan yang pasti memaksa pemilik lahan kecil untuk berhutang dan akhirnya kehilangan lahan — dengan demikian menambah jumlah penyewa dan buruh tani di perdesaan.
Jumlah penduduk kian meningkat, sementara luas lahan pertanian makin mengecil. Prahara yang terjadi pada lahan harusnya menjadi perhatian serius oleh pemerintah sebab pertanian selalu membutuhkan lahan yang besar.
Dampak yang paling nyata terjadi adalah kelangkaan komoditi pangan, sementara ledakan penduduk menyebabkan kebutuhan atas pangan meningkat. Pemerintah hanya bisa menargetkan percepatan produksi pangan, namun melupakan satu problem mendasar petani soal keterbatasan akan lahan pertanian.
Itulah kenapa soal dasar menyusutnya lahan pertanian dapat menyebabkan dampak begitu besar terhadap tiap aspek kunci yang mempengaruhi dinamika ekonomi dalam satu negara.
a. Lahan Terbatas, Kemiskinan Meningkat
Akses lahan yang semakin sempit, produksi pangan terbatas, kenaikan harga pangan yang semakin mahal tentunya menyebabkan tingkat kemiskinan pun kian menjulang pada tahun 2017 ini. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2017 mencapai 27,77 juta orang atau 10,64 persen. Naik 6,90 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2016 yang sebanyak 27,76 juta orang atau 10,70 persen.
Dari data kemiskinan tersebut, sebagian besar di dominasi oleh penduduk miskin yang tinggal di daerah perdesaan. Pada Maret 2017, jumlah kemiskinan di pedesaan mengalami kenaikan sebanyak 61,56 dari seluruh penduduk miskin.
Mengapa kemiskinan di perdesaan naik? Kondisi ini bisa jadi karena pada periode Februari 2015 hingga Februari 2016 jumlah penduduk yang bekerja turun sebanyak 200.000 orang. Penurunan itu terutama terjadi di sektor pertanian, sektor yang dominan di perdesaan. Sebab itu adalah problem mendasar yang menjawab pertanyaan soal kenapa jumlah penduduk miskin di perdesaan mengalami status quo.
Kemiskinan di perkotaan dan perdesaan harus dilihat secara berbeda. Kondisi geografis, demografis, dan struktur ekonomi daerah sedikit banyak mempengauhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Apalagi ukuran kemiskinan selalu dipandang dari faktor ekonomi yang diukur dari tingkat pendapatan (income) atau tingkat pengeluaran konsumsi masyarakat.
Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ukuran kemiskinan dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan dasar. Muncul konsep garis kemiskinan yang mengacu pada rata-rata pengeluaran per kapita per bulan.
Padahal indikator kemiskinan tak sesederhana itu, sebab munculnya kemiskinan di perdesaan yang paling utama sebenarnya akibat keterbatasan akses lahan pertanian sebagai unsur dominan mata pencaharian masyarakat perdesaan. Akhirnya hal itu mempengaruhi pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pada titik inilah akhirnya kemiskinan muncul dan melonjak begitu tinggi.
Jika kita bandingkan, struktur ekonomi di wilayah perkotaan dominan oleh sektor non-tradable yaitu sektor ekonomi yang tidak dapat diperdagangkan seperti keuangan dan jasa. Sementara wilayah perdesaan yang memiliki sumber daya alam lebih dominan dalam sektor tradable, yaitu pertanian, pertambangan, dan industri.
Pertumbuhan sektor non-tradable biasanya lebih tinggi ketimbang sektor tradable. Itu sebabnya, pertumbuhan pendapatan masyarakat di wilayah yang dominan sektor non-tradable-nya lebih tinggi ketimbang pendapatan para petani di perdesaan.
Belum lagi soal dominasi sektor tradable yang mayoritas dikuasai oleh struktur pemerintah dan perusahaan di perdesaan. Kondisi itu semakin memperkecil akses masyarakat perdesaan terhadap pertanian, pertambangan dan industri. Sehingga kondisi ini yang menyebabkan kesenjangan antara kota dan desa semakin lebar.Hal ini terlihat dari komoditas yang memberi sumbangan besar terhadap kerentanan kemiskinan yang paling utama adalah beras, ini berlaku di perdesaan.
Pengentasan rakyat dari kemiskinan seharusnya fokus pada masyarakat perdesaan. Selain soal integrasi program pemerintah, harus dipahami adanya perbedaan kebutuhan penanganan terhadap kelompok keluarga miskin, rentan, atau bahkan menengah sekalipun. Dengan pola penanganan spesifik sesuai kelompok masyarakat, ketahanan masyarakat untuk tidak tenggelam atau jatuh ke bawah garis kemiskinan dapat diperkuat.
b. Lahan Pertanian Terbatas, Deagrarianisasi Perdesaan Terjadi
Persoalan keterbatasan lahan pertanian pun juga menyebabkan pesatnya laju urbanisasi terjadi di perdesaan, hal ini disebabkan oleh rendahnya kepemilikan lahan dan produktifitas yang berujung pada tergerusnya kesejahteraan petani.
Selama periode 2003 sampai 2016 ada lima juta petani yang tercerabut dari lahan taninya. Mereka tidak punya pilihan selain migrasi ke kota-kota besar.
Kondisi ini digambarkan oleh Gerry Van Klinken, peneliti dari Belanda sebagai bentuk deagrarianisasi atau suatu bentuk hilangnya ketergantungan masyarakat perdesaan terhadap pertanian dan memilih bergantung terhadap birokrasi negara di perkotaan, jalan itu terpaksa diambil oleh masyarakat perdesaan guna mengamankan pendapatan ekonomi mereka.
Dari sekitar lima juta petani yang pindah ke perkotaan, awalnya rata-rata mengusahakan lahan 1.000 meter, sementara dari lahan tanam 1.000 meter, petani padi hanya dapat memperoleh maksimal 2,5 ton sekali panen. Itupun masih bisa jadi masalah karena infrastruktur pendukung pengolahan pascapanen masih terbatas.
Alhasil, laju deagrarianisasi penduduk desa di penjuru Indonesia mencapai 4 persen per tahun, salah satu yang tertinggi di dunia. Bahkan diperkirakan pada 2025, 65 persen penduduk desa akan berpindah ke kota. Angka ini diperkirakan akan mencapai 85 persen pada 2050.
Untuk meningkatkan kesejahteraan petani di desa dengan akses lahan yang terbatas dan menghambat laju deagrarianisasi, salah satu upaya yang bisa dilakukan sementara adalah melalui klasterisasi usaha. Artinya, usaha tani dikelompokkan berdasarkan produk tani yang dihasilkan.
Jika kemudian kondisi seperti ini terus diabaikan oleh pemerintah, maka kita tak akan mampu menghindari krisis pangan akan melanda negeri agraris.
Dewan Pembina Gerbang Tani, Marwan Jafar menyoroti maraknya konflik agraria di Jawa Tengah yang melibatkan petani dengan perusahaan swasta dan BUMN. Perseteruan itu terjadi di sektor perkebunan maupun kehutanan.
"Konflik agraria menjadi salah satu persoalan yg dihadapi oleh petani kita. Ini harus kita carikan solusi penyelesaiannya karena telah menimbulkan banyak Korban di rakyat," kata Marwan Jafar dalam siaran tertulisnya, Minggu (21/05).
Dia mengungkapkan, ketimpangan agraria yang menjadi salah satu penyebab konflik. Kondisi ini semakin diperparah dengan banyaknya petani yang hanya menjadi buruh tanpa memiliki lahan.
"Saya sangat paham bahwa masih banyak petani-petani kita yang tidak punya lahan, masih banyak petani-petani kita sebagai buruh tani. Untuk itu mutlak dilakukan reforma agraria " ungkap Mantan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi ini.
Marwan juga menyoroti soal kelangkaan pupuk serta bantuan subsidi pertanian yang mulai langka bagi petani. Selain itu, dia memperhatikan, kebijakan dan program pembangunan pertanian yang akan dilakukan jika menjadi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Politisi PKB ini menegaskan, diperlukan blue print pembangunan pertanian yang menempatkan petani sebagai aktor utama di dalamnya.
"Organisasi tani seperti Omah Tani harus kita libatkan dalam proses penyusunan kebijakan program pembangunan pertanian," ujarnya.
Marwan hadir dalam acara selamatan petani yang diselenggarakan oleh Omah Tani bersama Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan (Gerbang Tani) di Desa Cepoko, Batang, Jawa Tengah. Handoko Wibowo sebagai pimpinan Omah Tani sangat mengapresiasi kedatangannya.
"Masalah petani kita ini erat kaitannya dengan persoalan politik kebijakan, maka dibutuhkan komitmen pimpinan daerah yang benar-benar serius mau mengerti masalah petani," tutup Handoko.
Dalam penyelesaian sengketa tanah, negara harus hadir. Kalau tidak, rakyat kecil akan selalu dikalahkan pemilik modal.
Karena itu, Mantan Ketua Komnas HAM, Prof Hafid Abbas mengatakan, pemerintah perlu merealisasikan keberpihakan kepada rakyat kecil terkait konflik agraria yang terjadi di daerah.
“Perbandingannya sesuai HAM bisa 1:2:3. Satu bagian untuk perusahaan atau korporasi, dua bagian rakyat menengah dan tiga bagian untuk rakyat kecil. Ini akan efektif dalam menanggulangi ketimpangan ekonomi,” papar Prof Hafid di Jakarta, (3/2). Program reforma agraria yang diusung Presiden Jokowi, dinilainya cukup brilian. Bahwa berkuasa,” kata dia. Diketahui, dalam kasus ini, H Halim mengklaim lahan seluas 405 hektar. Hal itu dikuatkan dengan adanya putusan pengadilan.
Sementara, 8 ribu kepala keluarga (KK) juga merasa berhak atas tanah tersebut. Alhasil, ratusan warga melakukan demo besar-besaran pada September 2017.
Mereka memblokade jalan dua desa serta mengusir petugas BPN yang hendak melakukan pengukuran lahan. Kondisi ini, dikhawatirkan bisa meletup di kemudian hari. disediakan 9 juta hektar lahan untuk rakyat kecil. Hanya saja, yang jadi pertanyaan apakah lahannya ada?
“Kenapa tidak yang jelas-jelas saja. Semisal, Sinar Mas punya lahan 6 hektar. Diambil alih saja kemudian dibagi dengan konsel 1:2;3 itu. Namun demikian, saya melihat gebrakan pak presiden ada positifnya,” terangnya.
Terkait sengketa tanah di daerah, salah satunya di Kecamatan Sematang Borang, Kota Palembang, Sumatera Selatan, dirinya menyarankan hadirnya pemerintah.
Hampir bisa dipastikan, warga dua kelurahan yakni Srimulya dan Sidomulya akan kalah karena berhadapan dengan H Halim, pengusaha besar asal Palembang.
“Aparat di sana tentu akan lebih berpihak kepada yang kuat. Terorinya kan, yang kuat bisa mengatur yang.
2. Banyak Lahan Petani Belum Bersertifikat
Masalah lahan pertanian akan menentukan berbagai program pemerintah dalam rangka percepatan dan perluasan ekonomi Indonesia ke depan. Salah satu aspek penting untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang bersumber dari tanah adalah kepastian hukum dalam mengusahakan lahan pertanian. Kepastian hukum tersebut mendorong masyarakat meningkatkan rasa aman dan kepercayaan untuk melakukan investasi guna memperoleh hasil yang optimal dari lahan yang diusahakannya. Dengan demikian, sertifikasi lahan menjadi penting dalam rangka optimalisasi sumber daya lahan untuk kepentingan ekonomi, termasuk usaha tani komoditas pertanian. Bersamaan dengan penerbitan sertifikat lahan akan tercipta tertib administrasi peruntukan tanah yang dapat menghindari konflik kepentingan di bidang pertanahan. Mengingat sertifikasi lahan berhubungan erat dengan kepemilikan lahan, untuk mendapatkan gambaran umum pemilikan dan penggarapan lahan pertanian, berikut ini diuraikan hasil penelitian Panel Petani Nasional (PATANAS) pada tahun 2007 yang merupakan kegiatan kerja sama Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian dengan JBIC (Jepang).
3. Sistem pewarisan tanah
1. Hukum waris adat
Hukum waris adat adalah hukum waris yang diyakini dan dijalankan oleh suku tertentu di Indonesia.
Beberapa hukum waris adat aturannya tidak tertulis, namun sangat dipatuhi oleh masyarakat pada suku tertentu dalam suatu daerah, dan bila ada yang melanggarnya akan diberikan sanksi.
Jenis hukum ini banyak dipengaruhi oleh hubungan kekerabatan serta stuktur kemasyarakatannya. Selain itu jenis pewarisannya pun juga beragam, antara lain :
- Sistem Keturunan, pada ystem ini dibedakan menjadi tiga macam yaitu garis keturunan bapak, garis keturunan ibu, serta garis keturunan keduanya
- Sistem Individual, merupakan jenis pembagian warisan berdasarkan bagiannya masing-masing, umumnya banyak diterapkan pada masyarakat suku Jawa.
- Sistem Kolektif, Merupakan system pembagian warisan dimana kepemilikannya masing-masing ahli waris memiliki hak untuk mendapatkan warisan atau tidak menerima warisan. Umumnya bentuk warisan yang digunakan dengan jenis ini adalah barang pusaka pada masyarakat tertentu.
- Sistem Mayorat, merupakan system pembagian warisan yang diberikan kepada anak tertua yang bertugas memimpin keluarga. Contohnya pada masyarakat lampung dan Bali.
2. Hukum waris islam
Hukum Waris Islam hanya berlaku pada masyarakat yang memeluk agama Islam, dimana sistem pembagian warisannya menggunakan prinsip individual bilateral. Jadi dapat dikatakan ahli waris harus berasal dari garis ayah atau ibu.Selain itu makna warisan adalah jika harta atau aset yang diberikan orang yang memberikan sudah meninggal dunia, jika orangnya masih hidup istilahnya disebut Hibah bukan warisan.Hal yang terpenting juga adalah orang yang menjadi ahli waris harus yang memiliki hubungan keluarga atau hubungan keturunan. Sebagai contoh paman, anak, cucu, dan lain sebagainya.
3. Hukum waris Perdata
Hukum waris perdata adalah hukum waris yang paling umum di Indonesia dan beberapa aturannya mirip dengan budaya barat. Warisan dapat diberikan kepada ahli waris yang terdapat surat wasiat atau keluarga yang memiliki hubungan keturunan atau kekerabatan, seperti anak, orang tua, saudara, kakek, nenek hingga saudara dari keturunan tersebut.
4. Banyak petani tidak mempunyai lahan
Keterbatasan akses lahan menjadi problem utama peningkatan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Pada tahun 2016, hanya ada 33 persen wilayah Indonesia yang dapat digunakan untuk pertanian, sisanya 67 persen adalah kawasan hutan lindung.
Pemanfaatan lahan pertanian pun terbentur dengan lahan hutan lindung. Karena lahan kategori hutan lindung di Indonesia tidak dapat dikembangkan menjadi lahan pertanian atau perkebunan.
Di Sleman sebagai contoh, luas lahan pertanian menyusut setiap tahun. Situasi itu berdampak terhadap penurunan produksi pertanian, terutama padi.
Tiap tahun di Sleman tercatat rata-rata lahan pertanian berkurang 200 hektare (ha). Hal ini tak pelak menyebabkan kebutuhan petani atas lahan menjadi meningkat, kondisi itu memicu pertumbuhan stratum tuan tanah elit baru dimana kekuasaan mereka terletak pada kepemilikan atas lahan-lahan yang mereka kuasai. Akhirnya peningkatan buruh tani tanpa tanah terjadi di Sleman.
Faktor-faktor lain mengancam pemilik lahan kecil di perdesaan. Ketika lahan menjadi langka dan kepemilikan makin terfragmentasi melalui pemberian warisan, keuntungan yang menciut dengan cepat dari pekerjaan pada lahan yang pasti memaksa pemilik lahan kecil untuk berhutang dan akhirnya kehilangan lahan — dengan demikian menambah jumlah penyewa dan buruh tani di perdesaan.
Jumlah penduduk kian meningkat, sementara luas lahan pertanian makin mengecil. Prahara yang terjadi pada lahan harusnya menjadi perhatian serius oleh pemerintah sebab pertanian selalu membutuhkan lahan yang besar.
Dampak yang paling nyata terjadi adalah kelangkaan komoditi pangan, sementara ledakan penduduk menyebabkan kebutuhan atas pangan meningkat. Pemerintah hanya bisa menargetkan percepatan produksi pangan, namun melupakan satu problem mendasar petani soal keterbatasan akan lahan pertanian.
Itulah kenapa soal dasar menyusutnya lahan pertanian dapat menyebabkan dampak begitu besar terhadap tiap aspek kunci yang mempengaruhi dinamika ekonomi dalam satu negara.
a. Lahan Terbatas, Kemiskinan Meningkat
Akses lahan yang semakin sempit, produksi pangan terbatas, kenaikan harga pangan yang semakin mahal tentunya menyebabkan tingkat kemiskinan pun kian menjulang pada tahun 2017 ini. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2017 mencapai 27,77 juta orang atau 10,64 persen. Naik 6,90 ribu orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2016 yang sebanyak 27,76 juta orang atau 10,70 persen.
Dari data kemiskinan tersebut, sebagian besar di dominasi oleh penduduk miskin yang tinggal di daerah perdesaan. Pada Maret 2017, jumlah kemiskinan di pedesaan mengalami kenaikan sebanyak 61,56 dari seluruh penduduk miskin.
Mengapa kemiskinan di perdesaan naik? Kondisi ini bisa jadi karena pada periode Februari 2015 hingga Februari 2016 jumlah penduduk yang bekerja turun sebanyak 200.000 orang. Penurunan itu terutama terjadi di sektor pertanian, sektor yang dominan di perdesaan. Sebab itu adalah problem mendasar yang menjawab pertanyaan soal kenapa jumlah penduduk miskin di perdesaan mengalami status quo.
Kemiskinan di perkotaan dan perdesaan harus dilihat secara berbeda. Kondisi geografis, demografis, dan struktur ekonomi daerah sedikit banyak mempengauhi tingkat kesejahteraan masyarakat. Apalagi ukuran kemiskinan selalu dipandang dari faktor ekonomi yang diukur dari tingkat pendapatan (income) atau tingkat pengeluaran konsumsi masyarakat.
Di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, ukuran kemiskinan dilihat dari tingkat pemenuhan kebutuhan dasar. Muncul konsep garis kemiskinan yang mengacu pada rata-rata pengeluaran per kapita per bulan.
Padahal indikator kemiskinan tak sesederhana itu, sebab munculnya kemiskinan di perdesaan yang paling utama sebenarnya akibat keterbatasan akses lahan pertanian sebagai unsur dominan mata pencaharian masyarakat perdesaan. Akhirnya hal itu mempengaruhi pendapatan dan produktivitas masyarakat. Pada titik inilah akhirnya kemiskinan muncul dan melonjak begitu tinggi.
Jika kita bandingkan, struktur ekonomi di wilayah perkotaan dominan oleh sektor non-tradable yaitu sektor ekonomi yang tidak dapat diperdagangkan seperti keuangan dan jasa. Sementara wilayah perdesaan yang memiliki sumber daya alam lebih dominan dalam sektor tradable, yaitu pertanian, pertambangan, dan industri.
Pertumbuhan sektor non-tradable biasanya lebih tinggi ketimbang sektor tradable. Itu sebabnya, pertumbuhan pendapatan masyarakat di wilayah yang dominan sektor non-tradable-nya lebih tinggi ketimbang pendapatan para petani di perdesaan.
Belum lagi soal dominasi sektor tradable yang mayoritas dikuasai oleh struktur pemerintah dan perusahaan di perdesaan. Kondisi itu semakin memperkecil akses masyarakat perdesaan terhadap pertanian, pertambangan dan industri. Sehingga kondisi ini yang menyebabkan kesenjangan antara kota dan desa semakin lebar.Hal ini terlihat dari komoditas yang memberi sumbangan besar terhadap kerentanan kemiskinan yang paling utama adalah beras, ini berlaku di perdesaan.
Pengentasan rakyat dari kemiskinan seharusnya fokus pada masyarakat perdesaan. Selain soal integrasi program pemerintah, harus dipahami adanya perbedaan kebutuhan penanganan terhadap kelompok keluarga miskin, rentan, atau bahkan menengah sekalipun. Dengan pola penanganan spesifik sesuai kelompok masyarakat, ketahanan masyarakat untuk tidak tenggelam atau jatuh ke bawah garis kemiskinan dapat diperkuat.
b. Lahan Pertanian Terbatas, Deagrarianisasi Perdesaan Terjadi
Persoalan keterbatasan lahan pertanian pun juga menyebabkan pesatnya laju urbanisasi terjadi di perdesaan, hal ini disebabkan oleh rendahnya kepemilikan lahan dan produktifitas yang berujung pada tergerusnya kesejahteraan petani.
Selama periode 2003 sampai 2016 ada lima juta petani yang tercerabut dari lahan taninya. Mereka tidak punya pilihan selain migrasi ke kota-kota besar.
Kondisi ini digambarkan oleh Gerry Van Klinken, peneliti dari Belanda sebagai bentuk deagrarianisasi atau suatu bentuk hilangnya ketergantungan masyarakat perdesaan terhadap pertanian dan memilih bergantung terhadap birokrasi negara di perkotaan, jalan itu terpaksa diambil oleh masyarakat perdesaan guna mengamankan pendapatan ekonomi mereka.
Dari sekitar lima juta petani yang pindah ke perkotaan, awalnya rata-rata mengusahakan lahan 1.000 meter, sementara dari lahan tanam 1.000 meter, petani padi hanya dapat memperoleh maksimal 2,5 ton sekali panen. Itupun masih bisa jadi masalah karena infrastruktur pendukung pengolahan pascapanen masih terbatas.
Alhasil, laju deagrarianisasi penduduk desa di penjuru Indonesia mencapai 4 persen per tahun, salah satu yang tertinggi di dunia. Bahkan diperkirakan pada 2025, 65 persen penduduk desa akan berpindah ke kota. Angka ini diperkirakan akan mencapai 85 persen pada 2050.
Untuk meningkatkan kesejahteraan petani di desa dengan akses lahan yang terbatas dan menghambat laju deagrarianisasi, salah satu upaya yang bisa dilakukan sementara adalah melalui klasterisasi usaha. Artinya, usaha tani dikelompokkan berdasarkan produk tani yang dihasilkan.
Jika kemudian kondisi seperti ini terus diabaikan oleh pemerintah, maka kita tak akan mampu menghindari krisis pangan akan melanda negeri agraris.
Dewan Pembina Gerbang Tani, Marwan Jafar menyoroti maraknya konflik agraria di Jawa Tengah yang melibatkan petani dengan perusahaan swasta dan BUMN. Perseteruan itu terjadi di sektor perkebunan maupun kehutanan.
"Konflik agraria menjadi salah satu persoalan yg dihadapi oleh petani kita. Ini harus kita carikan solusi penyelesaiannya karena telah menimbulkan banyak Korban di rakyat," kata Marwan Jafar dalam siaran tertulisnya, Minggu (21/05).
Dia mengungkapkan, ketimpangan agraria yang menjadi salah satu penyebab konflik. Kondisi ini semakin diperparah dengan banyaknya petani yang hanya menjadi buruh tanpa memiliki lahan.
"Saya sangat paham bahwa masih banyak petani-petani kita yang tidak punya lahan, masih banyak petani-petani kita sebagai buruh tani. Untuk itu mutlak dilakukan reforma agraria " ungkap Mantan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi ini.
Marwan juga menyoroti soal kelangkaan pupuk serta bantuan subsidi pertanian yang mulai langka bagi petani. Selain itu, dia memperhatikan, kebijakan dan program pembangunan pertanian yang akan dilakukan jika menjadi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Politisi PKB ini menegaskan, diperlukan blue print pembangunan pertanian yang menempatkan petani sebagai aktor utama di dalamnya.
"Organisasi tani seperti Omah Tani harus kita libatkan dalam proses penyusunan kebijakan program pembangunan pertanian," ujarnya.
Marwan hadir dalam acara selamatan petani yang diselenggarakan oleh Omah Tani bersama Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan (Gerbang Tani) di Desa Cepoko, Batang, Jawa Tengah. Handoko Wibowo sebagai pimpinan Omah Tani sangat mengapresiasi kedatangannya.
"Masalah petani kita ini erat kaitannya dengan persoalan politik kebijakan, maka dibutuhkan komitmen pimpinan daerah yang benar-benar serius mau mengerti masalah petani," tutup Handoko.
Posting Komentar untuk "Kepemilikan Tanah Untuk Dijadikan Areal Pertanian"