Contoh Penulisan Makalah Kedudukan Akhlak Dalam Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam persoalan Akhlak, manusia sebagai makhluk berakhlak
berkewajiban menunaikan dan menjaga akhlak yang baik serta menjauhi dan
meninggalkan akhlak yang buruk. Akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat
Islam. Kualitas keberagaman justru ditentukan oleh nilai akhlak. Jika syariat
berbicara tentang syarat rukun, sah atau tidak sah, maka akhlak menekankan pada
kualitas dari perbuatan, misalnya beramal dilihat dari keikhlasannya, shalat
dilihat dari kekhusuannya, berjuang dilihat dari kesabarannya, haji dari
kemabrurannya, ilmu dilihat dari konsistensinya dengan perbuatan, harta dilihat
dari aspek mana dari mana dan untuk apa, jabatan dilihat dari ukuran apa yang
telah diberikan, bukan apa yang diterima. Dengan demikian, dikarenakan akhlak
merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam, maka Islam sebagai agama yang bisa
dilihat dari berbagai dimensi, sebagai keyakinan, sebagai ajaran dan sebagai
aturan. Agama Islam sebagai aturan atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur
tata kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama atau sebagai hukum dimaksud untuk
mengatur tata kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama berisi perintah dan
larangan, ada perintah keras (wajib) dan larangn keras (haram), ada juga
perintah anjuran (sunat) dan larangan anjuran (makruh). Apalagi pada zaman
sekarang ini, banyak diantara kita kurang memperhatikan masalah akhlak. Disatu
sisi, kita mengutamakan tauhid yang memang merupakan perkara pokok/inti agama
ini, berupaya menelaah dan mempelajarinya, namun disisi lain dalam masalah
akhlak kurang diperhatikan, sehingga tidak dapat disalahkan bila ada
keluhan-keluhan yang terlontar dari kalangan awam,
Yang
perlu diingat, bahwa tauhid sebagai sisi pokok/inti, Islam yang memang
seharusnya kita utamakan, namun tidak berarti mengabaikan perkara penyempurnaannya.
Dan akhlak mempunyai hubungan yang erat, Tauhid merupakan realisasi akhlak
seorang hamba terhadap allah, dan ini merupakan pokok inti akhlak seorang
hamba. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya, berarti ia adalah sebaik-baik
manusia. Semakin sempurna tauhid seseorang, maka semakin baik akhlaknya, dan
sebaliknya bila seseorang mywahhid memiliki akhlak yang buruk berarti lemah
tauhidnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pembahasan akan dititikberatkan
pada “Eksistensi dan Urgensi Akhlak dalam Kehidupan Umat Islam”.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan kedudukan
akhlak ?
2.
Bagaimana landasan akhlak dalam islam ?
3.
Bagaimana ciri-ciri akhlak dalam islam ?
4.
Bagaimana sistem penilaian akhlak ?
5.
Bagaimana problematika akhlak pada zaman
sekarang ?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Untuk mengetahui yang dimaksud dengan
kedudukan akhlak
2.
Untuk mengetahui landasan akhlak dalam
islam
3.
Untuk mengetahui ciri-ciri akhlak dalam
islam
4.
Untuk mengetahui sistem penilaian akhlak
5.
Untuk mengetahui problematika akhlak
pada zaman sekarang
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Kedudukan
Akhlak
Dalam Islam, akhlak memiliki posisi
yang sangat penting, yaitu sebagai salah satu rukun agama Islam. Dalam kaitan
ini, Rasulullah SAW. pernah ditanya, “Beragama itu apa?” beliau menjawab,
“Berakhlak yang baik” (H.R Muslim). Pentingnya kedudukan akhlak dapat
dilihat ketika melihat bahwa salah satu sumber akhlak adalah wahyu,dan Akhlak
terpuji sangatlah tinggi kedudukannya dimata Allah swt, bahkan meskipun
seseorang lemah dalam beribadah, namun akhlaknya mulia maka kedudukannya lebih
tinggi dari pada orang yang pandai beribadah tapi akhlaknya buruk. Dari Anas,
Rasulullah pernah bersabda : “Sesungguhnya seorang hamba mencapai derajat
yang tinggi di akhirat dan kedudukan yang mulia karna akhlaknya yang baik
walaupun ia lemah dalam ibadah.” (HR.Al-Tabhrani, Al-Tabhrig 3:404).
Akhlak memberikan peran penting bagi
kehidupan, baik yang bersifat individual maupun kolektif. Tak heran jika
kemudian Al-Qur’an memberi penekanan terhadapnya. Al-Qur’an meletakkan
dasar-dasar akhlak mulia. Demikian pula Al-Hadist telah memberikan porsi cukup
banyak dalam bidang akhlak. Menurut satu penelitian, dari 60.000 hadist, 20.000
diantaranya berkenaan dengan aqidah, sementara sisanya (40.000) berkenaan
dengan akhlak dan muamalah. Ini dapat dijadikan sebagai bukti bahwa Al-Hadist,
sebagaimana Al-Qur’an, sangat memerhatikan urusan akhlak.
Diantara hadist yang menekankan pentingnya akhlak adalah sabda Rasulullah SAW:
أَكْمَلُ
الْمُؤْ مِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
“Mukmin yang paling sempurna imannya adalah
orang yang paling bagus akhlaknya.” (H.R At Tirmidzi)
Dalam hadist yang lain, Rasulullah SAW. pernah
menegaskan:
إِنَّ
لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ
“Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak agama Islam
adalah rasa malu.” (H.R Imam Malik)
Islam menuntut setiap pemeluknya
untuk menjadikan Rasulullah SAW. sebagai contoh dalam segala aspek kehidupan.
Khusus dalam akhlak, Allah SWT. Memuji beliau dengan diiringi sumpah :
وَإِنَّكَ
لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi
pekerti yang luhur.” (Q.S Al-Qalam/68: 4)
Nabi Muhammad SAW. pun mengabarkan
bahwa orang yang paling sempurna keimanannya diantara umatnya adalah yang paling
baik akhlaknya. Dengan demikian, seyogianya seorang muslim berusaha dan
bersemangat untuk memiliki akhlak yang baik dan merujuk kepada Rasulullah SAW.
dalam berakhlak.
Dalam kaitan dengan kedudukan akhlak,
Ibnu Maskawaih menerangkan,
“Islam pada hakikatnya adalah suatu
aliran etika. Islam memperbaiki budi pekerti manusia sedemikian rupa sehingga
manusia sanggup menjadi anggota masyarakat pergaulan bersama. Islam menanamkan
bibit cinta kasih sayang di dalam jiwa manusia.”
B. Landasan Akhlak
Dalam Islam, dasar atau alat pengukur yang menyatakan bahwa sifat seseorang itu
baik atau buruk adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala sesuatu yang baik
menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (Al Hadits), itulah yang baik untuk dijadikan
pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, segala sesuatu yang buruk
menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, berarti tidak baik dan harus dijauhi. Berikut
penjelasan yang lebih lanjut :
a. Al – Qur’an
وَإِنَّكَ
لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya : “Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Q.S Al-Qalam: 4)
Maksud dari ‘sesungguhnya kamu’ yaitu pujian
Allah bersifat individual dan khusus hanya diberikan kepada Nabi Muhammad Saw.
karena kemuliaan akhlaknya dan berbudi pekerti yang agung. Penggunaan istilah khulukin’adhim
menunjukkan keagungan dan keanggunan moralitas rasul, yang dalam hal ini
adalah Muhammad saw. Banyak nabi dan rasul yang disebut-sebut dalam Al- Qur’an,
tetapi hanya Muhammad saw yang mendapat pujian sedahsyat itu. Dengan lebih tegas,
Allah pun memberikan penjelasan secara transparan bahwa akhlak Rasulullah
sangat layak untuk dijadikan standar modal bagi umatnya, sehingga layak untuk
dijadikan idola yang diteladani sebagai uswah hasanah, melalui firman
Allah dalam Al- Qur’an surat Al-Ahzab 33:21 berikut ini :
لَقَدْ كَانَ
لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ
وَالْيَوْمَ
الْآخِرَ
وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: :
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab 33:21)
Al- Qur’an menggambarkan aqidah
orang-orang beriman, kelakuan mereka yang mulia dan gambaran mereka yang
tertib, adil, luhur, dan mulia. Berbanding terbalik dengan perwatakan
orang-orang kafir dan munafik yang jelek, zalim, dan rendah hati. Gambaran
akhlak mulia dan akhlak keji begitu jelas dalam perilaku manusia disepanjang
sejarah. Al- Qur’an juga menggambarkan perjuangan para rasul untuk menegakkan
nilai-nilai mulia dan murni di dalam kehidupan dan ketika mereka ditentang oleh
kefasikan, kekufuran, dan kemunafikan yang menggagalkan tegaknya akhlak yang
mulia sebagai teras kehidupan yang luhur dan murni itu.
b.
Al-Hadist
Dalam ayat Al - Qur’an telah diberikan penegasan bahwa
Rasulullah merupakan contoh yang layak ditiru dalam segala sisi kehidupannya.
Disamping itu, ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa tidak ada satu
“sisi-gelap” pun yang ada pada diri Rasulullah, karena semua isi kehidupannya
dapat ditiru dan diteladani. Ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa Rasulullah
sengaja diproyeksikan oleh Allah untuk menjadi “lokomotif” akhlak umat manusia
secara universal, karena Rasulullah diutus sebagai rahmatan lil’alamin.
Hal ini didukung pula dengan hadist yang berbunyi :
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ
صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ
Artinya : Sesungguhnya saya ini diutus hanyalah
untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.( HR.Muslim).
Hadist tersebut menunjukkan, karena akhlak menempati posisi
kunci dalam kehidupan umat manusia, maka substansi misi Rasulullah itu sendiri
adalah untuk menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia agar dapat mencapai
akhlak yang mulia. Yang menjadi persoalan disini adalah bagaimana substansi
akhlak Rasulullah itu. Dalam hal ini, para sahabat pernah bertanya kepada istri
Rasulullah, yakni Aisyah r.a. yang dipandang lebih mengetahui akhlak rasul
dalam kehidupan sehari-hari, maka Aisyah menjawab :
“Akhlak Rasulullah adalah Al – Qur’an.”
Maksud perkataan Aisyah adalah
segala tingkah laku dan tindakan Rasulullah SAW., baik zahir maupun yang batin
senantiasa mengikuti petunjuk dari Al-Qur’an. Al-Qur’an selalu mengajarkan umat
Islam untuk berbuat baik dan menjauhi segala perbuatan yang buruk. Ukuran yang
baik dan buruk ini ditentukan oleh Al-Qur’an.
Oleh karena itu, Islam memiliki
hubungan yang sangat erat dengan akhlak. Ini karena Islam diturunkan oleh Allah
Swt. Sebabnya akhlak Islam dapat dikatakan sebagai akhlak yang Islami karena
akhlak yang bersumber pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya. Untuk membangun dan mendidik manusia agar bermoral atau
berakhlak baik. Nabi Muhammad SAW. pun menegaskan tugas utamanya, yaitu
membangun moralitas manusia. Sabda Nabi:
“Tidaklah aku diutus melainkan untuk
menyempurnakan akhlak manusia.”
Akhlak Islami merupakan amal perbuatan yang sifatnya
terbuka sehingga dapat menjadi indikator seseorang apakah seorang muslim yang
baik atau buruk. Sehingga, akhlak merupakan buah dari akidah dan syariah yang benar.
Secara mendasar, akhlak ini erat kaitannya dengan kejadian manusia yaitu Khaliq
(pencipta) dan makhluq (yang diciptakan).
Dalam ajaran agama, akhlak adalah
buah dari iman dan ibadah. Menurut Al-Ghazali, dapat dibentuk dan diarahkan
melalui proses pelatihan (mujahadah) dan proses pembiasaan (riyadhah).
Sebagai contoh, siapa yang berkeinginan menjadi orang dermawan, maka ia harus
berlatih dan membiasakan diri berinfak dan membelanjakan hartanya di jalan
Allah. Ia harus melakukan secara terus menerus sampai kegiatan berinfak itu
menjadi suatu kenikmatan baginya.
Dalam berbagai literatur tentang
Ilmu Akhlak Islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang secara garis besar
dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah),
dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah). Berbuat adil, jujur,
sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk ke dalam akhlak yang baik.
Sedangkan berbuat zalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan curang
termasuk ke dalam akhlak yang buruk. Bagaimanakah terjadinya berbagai akhlak
yang mulia dan tercela ini? Uraian berikut ini akan mencoba menjawabnya.
Secara teoritis macam-macam akhlak
tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana),
syaja’ah (perwira atau ksatria), dan iffah (menjaga diri
dari perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari
sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga
potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran)
yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu
syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut. Akal yang digunakan
secara adil akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah yang digunakan secara
adil akan menimbulkan sikap perwira dan nafsu syahwat yang digunakan secara
adil akan menimbulkan iffah yaitu dapat memelihara diri dari perbuatan
maksiat. Dengan demikian, inti akhlak pada akhirnya bermuara pada sikap adil
dalam mempergunakan potensi rohaniah yang dimiliki manusia.
Pemahaman tersebut pada akhirnya
akan membawa kepada timbulnya teori pertengahan, yaitu bahwa sikap pertengahan
sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Pemahaman ini sejalan pula dengan isyarat
yang terdpat dalam hadis nabi yang berbunyi,
“Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah
yang pertengahan.” (H.R Ahmad)
Sebaliknya akhlak yang buruk atau tercela pada
dasarnya timbul disebabkan oleh penggunaan dari ketiga potensi rohaniah yang
tidak adil. Akal yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap pintar
busuk atau penipu; dan akal yang digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap
dungu atau idiot. Dengan demikian akal yang digunakan secara berlebihan atau
terlalu lemah merupakan pangkal timbulnya akhlak yang tercela.
Demikian pula amarah yang digunakan
terlalu berlebihan akan menimbulkan sikap membabi buta atau hantam kromo, yaitu
berani tanpa memperhitungkan kebaikan dan keburukannya. Sebaliknya, jika amarah
digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap pengecut. Dengan demikian,
penggunaan amarah secara berlebihan atau berkurang sama-sama akan menimbulkan
akhlak yang buruk. Berkenaan dengan ini di dalam Al-Qur’an dijumpai ayat yang
menunjukkan akhlak yang baik yang dihubungkan dengan sikap yang mampu menahan
amarah. Allah berfirman.
الَّذِينَ
يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(orang-orang yang bertakwa yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun waktu
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang
lain.” (Q.S Ali
Imran/3: 134)
Bagi Nabi Muhammad SAW., Al-Qur’an
sebagai cerminan berakhlak. Orang yang berpegang teguh pada Al – Qur’an dalam
melaksanakan kehidupan sehari-hari, maka sudah termasuk meneladani akhlak
Rasulullah.
Jadi sudah jelas bahwa akhlak atau sistem perilaku ini
terjadi melalui satu konsep atau seperangkat pengertian tentang apa dan
bagaimana sebaiknya akhlak itu harus terwujud. Konsep atau seperangkat
pengertian tentang apa dan bagaimana sebaiknya akhlak itu, disusun oleh manusia
di dalam sistem idenya. Sistem ide ini adalah hasil proses (penjabaran)
daripada kaidah yang dihayati dan dirumuskan sebelumnya (norma yang bersifat
normative dan norma yang bersifat deskriptif). Kaidah atau norma merupakan
ketentuan yang timbul dari suatu nilai yang terdapat pada Al-Qur’an atau Sunnah
yang telah dirumuskan melalui wahyu Ilahi maupun yang disusun oleh manusia
sebagai kesimpulan dari hukum-hukum yang terdapat dalam alam semesta yang diciptakan
Allah Swt.
Setelah pola perilaku terbentuk maka
sebagai kelanjutannya akan lahir hasil-hasil dari pola perilaku tersebut yang
berbentuk material (artifacts) maupun non-material (konsepsi, ide). Jadi
akhlak yang baik itu (akhlakul karimah) ialah pola perilaku yang
dilandaskan pada manifestasi nilai-nilai Iman, Islam, dan Ihsan.
Akhlak atau sistem perilaku dapat dididik atau
diteruskan melalui sekurang-kurangnya dua pendekatan, yaitu:
1) Ransangan
jawaban (stimulus-response) atau yang disebut proses mengkondisi
sehingga terjadi automatisasi dan dapat dilakukaan dengan cara sebagai berikut:
a.
Melalui cara latihan
b.
Melalui Tanya jawab
c.
Melalui mencontoh
2) Kognitif
yaitu penyampaian informasi secara teoritis yang dapat dilakukan antara lain
sebagai berikut:
a.
Melalui dakwah
b.
Melalui ceramah
c.
Melalui diskusi, dan lain-lain.
C.
Ciri-Ciri Akhlak Dalam Islam
Ciri-ciri akhlak dalam Islam
ialah:
1. Akhlak
rabbani
Akhlak
rabbani ialah ciri-ciri akhlak dalam Islam yang benar-benar memiliki nilai
mutlak. Akhlak rabbani lah yang mampu menghindari kekacauan moralitas dalam
kehidupan manusia.
2. Akhlak
manusiawi
Akhlak
manusiawi ialah ciri-ciri akhlak yang benar-benar memelihara eksistensi
manusia, sebagai makhluk terhormat sesuai dengan fitrahnya.
3. Akhlak
universal
Akhlak
universal adalah ajaran yang mencakup seluruh aspek hidup manusia. Baik yang
dimensi vertical maupun yang dimensi horizontal, contoh yang wajib di jauhi:
Jangan menyekutukan Tuhan, durhaka kepada orang tua, membunuh, makan harta anak
yatim, mengurangi takaran atau timbangan.
4. Akhlak
keseimbangan
Akhlak
keseimbangan yaitu manusia menurut pandangan Islam memiliki dua kekuatan dalam
dirinya, yaitu kekuatan baik pada hati nurani dan akalnya. Dan kekuatan buruk
pada hawa nafsunya. Manusia memiliki naluriah hewani dan naluriah ruhaniah
malaikat.
Manusia
memiliki unsur rohani jasmani yang memerlukan layanan masing-masing secara
seimbang.
5. Akhlak
realitas
Akhlak
realitas adalah ajaran akhlak dalam Islam memperhatikan kenyataan hidup
manusia. Meskipun manusia telah dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki
kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk lain, tetapi manusia mempunyai
kelemahan-kelemahan, memiliki kecenderungan manusiawi dengan berbagai macam
kebutuhan material dan spiritual. Dengan kelemahan-kelemahan itu manusia sangat
mungkin melakukan kesalahan-kesalahan dan pelanggaran, oleh karena itu Islam
memberikan kesempatan kepada manusia yang melakukan kesalahan untuk memperbaiki
diri dengan bertaubat.
D. Sistem
Penilaian Akhlak
Berikut merupakan uraian system
penilaian akhlak menurut beberpa madzhab, aliran, dan paham dalam Islam.
a.
Sistem Ahlu Sunnah
Ahlu sunnah waljama’ah mempunyai arti “ahlu” bermakna golongan dan
“asunnah” bermakna segala sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad SAW. Aljamaah ini banyak sekali yang memberi makna, antara lain golongan yang
mayoritas umat Islam yang setia kepada pemimpin umat Islam. Dan adapula yang
mengartikan Aljamaah sebagai golongan para sahabat Nabi. Jadi arti dari “ahlu
sunnah walajamah” adalah golongan yang berpegang teguh pada Al-Qur’an , sunnah Rasulullah
SAW, dan kesepakatan para mujtahid.
Sebelumnya ahli sunnah waljama’ah
ini dipelopori oleh Abu Al-Husan Al-Asy’ari (260-320H/873-935M) dan Abu Mansyur
Al-Maturidi (332H/943M). mereka membagi kajian ilmunya dengan cara menggali
dari Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Segala awamir yang
dima’rufkan Allah SWT adalah baik dan segala nawahi yang dimunkarkan
Allah SWT adalah buruk. Tidak ada kebaikan atau keburukan secara absolute,
tetapi semuanya itu menurut instruksi dari Allah SWT. adapun yang bersifat
absolute adalah kekuasaan dan keadilan Allah yang terletak pada iradat-Nya.
Namun keadilan tidak wajib bagi Allah, karena apabila wajib maka kekuasaan-Nya
tidak mutlak lagi. Ittulah sebabnya para ahli kalam membedakan antara sifat –
sifat yang wajib bagi Allah menurut akal dan juga dalil akal yang jumlahnya 13
atau 20 dengan asma’ul husna yang jumlahnya 99.
b. Sistem Mu’tazilah
Secara bahasa kata mu’tazilah
berasal dari kata i’tazila yang berarti “berpisah” atau “memisahkan
diri”, yang berarti juga “menjauh” atau “menjauhkan diri”. Secara
teknis, istilah mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni.
Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap
lunak dalam menyikapi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan –
lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
Golongan kedua (Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan
teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat
peristiwa tahkim. Menurut Ahmad
tafsir ada mu’tazilah yang lahir karena menghindari bentrokan politis
dan ada yang lahir karena bentrokan pemikiran fanatik.
Ajaran pokok ini mempunyai tujuh
bagian :
1. Tentang sifat – sifat Allah.
2. Kedudukan Al-Qur’an
3. Melihat Allah di akhirat
4. Perbuatan manusia
5. Antropomorisme
6. Dosa besar
7. Keadilan Allah
c. Sistem
Jabariyah
Landasan pemikiran ini adalah bahwa pada hakekatnya perbuatan
seorang hamba disandarkan langsung kepada Allah. tidak diminta untuk taat tapi
dipaksa untuk melakukan segala perbuatan di luar kehendak dan usahanya, maka
Allah SWT menciptakan segala perbuatan sebagaimana dia menciptakan seluruh
materi.
Para
sejarawan telah banyak berbicara dan menjelaskan siapa yang sebenarnya terlebih
dahulu memiliki pendapat di atas dan menyebarkannya. Disini kami tuliskan
sedikit pendapat mengenai faham Jabariyah sebagai mana yang di tulis oleh
Al-Murtadha dalam Al-Muriyah wa Al-’Amail.
Ulama pertama , Abdullah Bin
Abbas, ketika berbicara di hadapan kaum Jabariyah di kota Syam. Dia
melontarkan kritik ”Mengapa kalian memerintahkan orang-orang untuk bertaqwa,
padahal kalian menyesatkan mereka. Kalian melarang orang-orang berbuat maksiat
tetapi kalian justru memperlihatkan kemaksiatan. Wahai putra-putra kaum
munafik, penolong kaum zhalim, dan penjaga masjid kaum fasik, kalian hanya
berdusta kepada Allah, kalian harus bertanggungjawab atas dosa-dosa kalian
kepada Allah.”
Ulama kedua, Hasan Al-Bashri,
berbicara di kota Bashrah, ” Barang siapa yang tidak beriman kepada Allah serta
qodho’ dan qodar-Nya, maka dia telah kafir. Sesungguhnya Allah
tidak kurang apapun, meskipun ditaati ataupun didurhakai, karena Dia adalah
Raja dari segala raja, dan Penguasa dari segala penguasa. Untuk itu, Allah
memberi kebebasan kepada manusia: apakah mau taat atau durhaka. Jika Allah
memaksa makhluk-Nya supaya taat kepada-Nya, maka mereka tentu tidak akan
mendapat pahala. Dan, andaikata mereka dipaksa untuk berbuat maksiat, maka
mereka pasti tidak akan disikasa. Semua orang tidak dipaksa oleh kehendak
Allah. Untuk itu, jika mereka taat kepada Allah, maka Dia pasti akan menebarkan
Rahmat.”
Pendapat ini sebenarnya sudah
mulai muncul pada masa para sahabat, akan tetapi npada awalnya hanya diucapkan
kam musyrik sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran. Orang Islam ang pertama kali
menyebarkan paham ini adalah Al-Ja’d bin Dirham. Dia menerima faham ini dari
orang Yahudi di Syria. Kemudian disebarkan ke Bashrah, terutama kepada Al-Jahm
bin Shafaran. Dalam kitab Syarah Al-’Uyun, Al-Jahm bin Shafwan menerima suatu
ajaran dari Al-Ja’d bin Dirham yang kemudian dinamakan ajaran
al-jahmiyah.sementara itu Al-Ja’d bin Dirham menerima ajaran tersebut dari Ibnu
Sam’an, sedangkan Sam’an menerimanya dari Thalut bin A’shim al-Yahudi.
Ajaran Al-Jahm bin Shafwan bukan
merupakan aliran Jabariyah, akan tetapi mempunyai ajaran lain di antaranya:
a.
Al-Jahm
beranggapan, tidak ada sesuatu apaun yang bersifat kekal.
b.
Keimanan itu
merupakan ma’rifat sedangkan kekufuran merupakan kebodohan. Iman adalah
pengetahuan dan kufur adalah kebodohan.
c.
Firman Allah
itu bersifat baru bukan lama.
d.
Allah Swt tidak
mengidentikan diri sebagai ”sesuatu” yang hidup bagaikan alam semesta.
e.
Al-Jahm
membantah bahwa Allah Swt bisa dilihat kelak dihari kiamat
Para ulama salaf dan kholaf telah membantah ajaran tersebut, seperti yang
dilakukan hasan Al-Bashri dan sebelumnya Ibnu Abbas. Perlu diketahui ajaran
Jabariyah banyak di ingkari oleh banyak kelompok ulam kalam, ahli fiqih, dan
ahli hadist.
Allah Swt berfirman, aku akan memalingkan orang-orang yang
menyombangkan dirinya dimuka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda
kekuasan-Ku.jika melihat ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika
melihat petunjuk, mereka tidak akan menempuhnya, tetapi jika melihat kesesatan,
mereka justru mendekatinya. Hal itu terjadi karena mereka mendustakan ayat-ayat
Kami dan selalu lalai darinya. Begitulah, banyak orang yang mencoba
meniti jalan yang disangkanya terang, padahal sebenarnya sesat dan gelap
gulita.
d. Sistem
Qodariyah
Aliran ini dipelopori oleh Ghoilan Ad-Dimasyqi dan Ma’bad Al-Juhani.
Qodiriyah berasal dari kata qodara (قَدَرَ) yang mengandung arti kemampuan
dan kekuatan. Kaum Qodariyah adalah golongan islam yang
meyakini bahwa manusia mempunyai kekuatan mutlak dan kebebasan untuk menentukan
segala macam perbuatan sesuai dengan keinginannya tanpa ada intervensi dari
tuhan.Jadi menurut Qodariyah manusia harus bebas menentukn nasibnya sendiri.
Manusia bebas memilih amal yang baik dan yang buruk, jadi kalau Allah maha adil
mestinya memberi pahala orang yang beramal baik dan sebaliknya.
Paham Qodariyah berlawanan dengan
paham Jabariyah. Menurut paham Qodariyah, manusia harus bebas dan merdeka
memilih amalnya sendiri.
Untuk mengatasi kedua paham yang
saling bertentangan , yaitu Qodariyah dan Jabariyah sebaiknya kita menyimak
firman Allah dalam surah al-Ra’d [13] ayat 11,: Bagi manusia
ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di
belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah
tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain
Dia.Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara
bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan
yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran
itu, disebut Malaikat Hafazhah. Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama
mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
e. Sistem
Shufiyah
Paham sufiyah yang dilansir para
sufi berpendapat bahwa pendidikan akhlaq tersusun atas tiga fase:
1. Fase takhalli atau takhliyah, yaitu membasmi
sifat-sifat duniawiyah yang terdapat dalam diri manusia. Takhliyah
zhahiriyah yaitu menjauhkan diri dari kejahatan tujuh macam anggota
maksiat zhahir, ketujuh tersebit adalah faraj, lisan, tangan, mata, telinga,
kaki, dan perut. Kemudian, manusia melakukan Takhliyah bathiniyah yang
didahului dengan taubat yaitu dengan cara Istigfar, menyesal, dan berjanji
tidak akan mengulangi lagi.
2. Fase Tahalli, mengisi jiwa seseorang dengan jiwa mahmudah yang merupakan
ibadat qolbi. Maka hiasilah diri nkita dengan taqwa, hati yang bersih, dan
sifat siddiq.
3. Fase Tajalli, adalah pengalaman Puncak yang dicari para pecinta Allah.Dimana fase ini
telah jelaslah Allah dalam kehidupan jiwa, fase ini hasil usaha dari fase
pertama dan kedua. Meskipun dalam diri manusia cenderung berbuat kejahatan,
namun usaha yang pertama dan yang utama adalah menjauhkan diri dari
larangan Allah. Meninggalkan larangan-Nya lebih berat dari pada
mengerjakan perintah-Nya. Hal ini terjadi karena pengaruh lingkungan. Untuk itu
bagi orang tua agar mendidik anaknya dengan baik mulai sedini mungkin.
E.
Problematika Akhlak Pada Zaman Sekarang
Problematika adalah suatu permasalahan yang
terjadi dalam kehidupan. Sedangkan
akhlak adalah suatu perbuatan yang ada dalam diri manusia yang dapat
menimbulkan perbuatan baik dan buruk.
Jadi dapat disimpulkan bahwa problematika akhlak adalah suatu permasalan
yang terjadi akibat perbuatan manusia.
Pada zaman sekarang ini seperti yang kita
ketahui tekhnologi sudah semakin canggih. Semua orang bisa mendapatkan
informasi lebih mudah. Tapi sayang, tidak semua orang memanfaatkan tekhnologi
dengan baik. Sehingga banyak menimbulkan berbagai permasalahan akibat
tekhnologi. Permasalahan tidak hanya disebabkan karena kecanggihan tekhnologi
melainkan juga karena tidak adanya rasa kemanusiaan antar sesama.
Berikut
contoh problematika akhlak yang ada di zaman sekarang, diantaranya:
1.
Penipuan
Pada masa sekarang ini sudah banyak terjadi masalah penipuan. Bahkan
penipuanpun sudah merajalela akibat perkembangan teknologi. penipuan dengan
penggunaan tekhnologi yaitu seperti jual beli online. Penjual menawarkan
barang-barang dengan harga murah sehingga membuat pembeli yang awalnya tidak
berminat menjadi tertarik untuk membelinya. Sehingga terjadi komunikasi antara
penjual dan pembeli. Penjual akhirnya mengirim nomor rekeningnya ke pembeli
sehingga pembeli mentransfer dengan jumlah yang sesuai dengan pesanan. Tapi setelah ditunggu barang tidak kunjung
datang.
2.
Pembunuhan
Pembunuhan kini semakin marak terjadi.
Dengan gampangnya seseorang membunuh antar sesamanya. Pembunuhan yang terjadi
saat ini sungguh memprihatinkan. Padahal pembunuhan yang terjadi karena adanya
masalah tidak seharusnya terjadi. Karena semua masalah bisa diatasi secara
baik-baik. Dalam islampun membunuh seseorang itu dosa besar. Tapi karena tidak
adanya rasa kemanusiaan sehingga bisa menimbulkan pembunuhan itu terjadi.
3.
Korupsi
Korupsi
sudah banyak dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Korupsi
sama halnya memakan uang Negara. Orang-orang yang melakukan korupsi cenderung
mengabaikan tugas dan wewenangnya. Korupsi terjadi akibat ketidakpuasan atas
apa yang dimilikinya dan bisa dikatakan tidak mensyukuri nikmat yang diberikan
oleh Allah.
Problematika
akhlak ini seharusnya tidak terjadi, tapi karena perbuatan manusia yang tidak
pernah berfikir secara rasional akhirnya masalah ini terjadi. Perkembangan
zaman sudah membuat manusia lalai akan tanggung jawabnya di dunia. Kebanyakan
manusia hanya mementingkan kesenangan dunia daripada kesenangan akhiratnya
kelak. Dengan perkembangan tekhnologi juga bisa membuat manusia hilang arah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari sekian banyak uraian yang kami kemukakan, maka
kami dapat menyimpulkan bahwa:
a.
Akhlak itu
artinya tabiat, budi pekerti, watak, tatakrama, kesusilaan, sopan santun, dan
moral. Sedangkan jenisnya terbagi kepada dua bagian yaitu akhlak terpuji
(akhlakul mahmudah) dan akhlak tercela (akhlakul mazmumah)
b.
Akhlak bertujuan
untuk menciptakan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna, dan
membedakannya dari makhluk-makhluk yang lainnya. Sedangkan sumbernya akhlak itu
dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu akhlak yang bersumber keagamaan dan
akhlak yang bersumber tanpa agama
c.
Akhlak terhadap
sesama manusia itu antara lain akhlak terhadap orang tua, akhlak terhadap
saudara, akhlak terhadap tetangga, akhlak terhadap sesama muslim, dan akhlak
terhadap kaum lemah.
B.
Saran
Makalah
ini kami susun dengan tujuan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah
Pendidikan Akhlak dengan pokok bahasan mengenai “Kedudukan Akhlak Dalam Islam”,
maka kami ingin menyampaikan saran sebagai berikut:
a. Kita
sebagai manusia jangan sekali-kali melakukan akhlak yang buruk, tetapi
perbanyaklah melakukan akhlak yang baik.
b. Sebagai
orang muslim, kita harus berbuat baik terhadap sesama manusia yaitu kepada
saudara, orang tua, kaum lemah dan tetangga. Walau pun kaum lemah dan tetangga
itu bukan orang muslim atau berlainan agama.
DAFTAR
RUJUKAN
Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Bulan Bintang, Jakarta,
1975
Asmaran, Pengantar Studi Akhlak,
Raja Grafindo.
Rachmat Djatnika, Akhlak Mulia,
Pustaka, Jakarta, 1996
Mahyuddin, 1999, Kuliah Akhlak Tasawuf, Jakarta : Kalam
Mulia
http://al-bhustomy.blogspot.com/2009/02/eksistensi-akhlak-dalam-islam.html
http://rahmatseptria.blogspot.com/2016/02/jenis-jenis-akhlak-dan-sistem.html
http://pbs-a01.blogspot.com/2017/12/problematika-akhlak-pada-zaman-sekarang.html
Posting Komentar untuk "Contoh Penulisan Makalah Kedudukan Akhlak Dalam Islam"