Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Contoh Penulisan Makalah Kedudukan Akhlak Dalam Islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
            Dalam persoalan Akhlak, manusia sebagai makhluk berakhlak berkewajiban menunaikan dan menjaga akhlak yang baik serta menjauhi dan meninggalkan akhlak yang buruk. Akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam. Kualitas keberagaman justru ditentukan oleh nilai akhlak. Jika syariat berbicara tentang syarat rukun, sah atau tidak sah, maka akhlak menekankan pada kualitas dari perbuatan, misalnya beramal dilihat dari keikhlasannya, shalat dilihat dari kekhusuannya, berjuang dilihat dari kesabarannya, haji dari kemabrurannya, ilmu dilihat dari konsistensinya dengan perbuatan, harta dilihat dari aspek mana dari mana dan untuk apa, jabatan dilihat dari ukuran apa yang telah diberikan, bukan apa yang diterima. Dengan demikian, dikarenakan akhlak merupakan dimensi nilai dari Syariat Islam, maka Islam sebagai agama yang bisa dilihat dari berbagai dimensi, sebagai keyakinan, sebagai ajaran dan sebagai aturan. Agama Islam sebagai aturan atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur tata kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama atau sebagai hukum dimaksud untuk mengatur tata kehidupan manusia. Sebagai aturan, agama berisi perintah dan larangan, ada perintah keras (wajib) dan larangn keras (haram), ada juga perintah anjuran (sunat) dan larangan anjuran (makruh). Apalagi pada zaman sekarang ini, banyak diantara kita kurang memperhatikan masalah akhlak. Disatu sisi, kita mengutamakan tauhid yang memang merupakan perkara pokok/inti agama ini, berupaya menelaah dan mempelajarinya, namun disisi lain dalam masalah akhlak kurang diperhatikan, sehingga tidak dapat disalahkan bila ada keluhan-keluhan yang terlontar dari kalangan awam,
            Yang perlu diingat, bahwa tauhid sebagai sisi pokok/inti, Islam yang memang seharusnya kita utamakan, namun tidak berarti mengabaikan perkara penyempurnaannya. Dan akhlak mempunyai hubungan yang erat, Tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap allah, dan ini merupakan pokok inti akhlak seorang hamba. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya, berarti ia adalah sebaik-baik manusia. Semakin sempurna tauhid seseorang, maka semakin baik akhlaknya, dan sebaliknya bila seseorang mywahhid memiliki akhlak yang buruk berarti lemah tauhidnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pembahasan akan dititikberatkan pada “Eksistensi dan Urgensi Akhlak dalam Kehidupan Umat Islam”.



B.     Rumusan Masalah

              1.      Apa yang dimaksud dengan kedudukan akhlak ?
              2.      Bagaimana landasan akhlak dalam islam ?
              3.      Bagaimana ciri-ciri akhlak dalam islam ?
              4.      Bagaimana sistem penilaian akhlak ?
              5.      Bagaimana problematika akhlak pada zaman sekarang ?

C.    Tujuan Penulisan

              1.      Untuk mengetahui yang dimaksud dengan kedudukan akhlak
              2.      Untuk mengetahui landasan akhlak dalam islam
              3.      Untuk mengetahui ciri-ciri akhlak dalam islam
              4.      Untuk mengetahui sistem penilaian akhlak
              5.      Untuk mengetahui problematika akhlak pada zaman sekarang
            
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kedudukan Akhlak
            Dalam Islam, akhlak memiliki posisi yang sangat penting, yaitu sebagai salah satu rukun agama Islam. Dalam kaitan ini, Rasulullah SAW. pernah ditanya, “Beragama itu apa?” beliau menjawab, “Berakhlak yang baik” (H.R Muslim). Pentingnya kedudukan akhlak dapat dilihat ketika melihat bahwa salah satu sumber akhlak adalah wahyu,dan Akhlak terpuji sangatlah tinggi kedudukannya dimata Allah swt, bahkan meskipun seseorang lemah dalam beribadah, namun akhlaknya mulia maka kedudukannya lebih tinggi dari pada orang yang pandai beribadah tapi akhlaknya buruk. Dari Anas, Rasulullah pernah bersabda : “Sesungguhnya seorang hamba mencapai derajat yang tinggi di akhirat dan kedudukan yang mulia karna akhlaknya yang baik walaupun ia lemah dalam ibadah.” (HR.Al-Tabhrani, Al-Tabhrig 3:404).
            Akhlak memberikan peran penting bagi kehidupan, baik yang bersifat individual maupun kolektif. Tak heran jika kemudian Al-Qur’an memberi penekanan terhadapnya. Al-Qur’an meletakkan dasar-dasar akhlak mulia. Demikian pula Al-Hadist telah memberikan porsi cukup banyak dalam bidang akhlak. Menurut satu penelitian, dari 60.000 hadist, 20.000 diantaranya berkenaan dengan aqidah, sementara sisanya (40.000) berkenaan dengan akhlak dan muamalah. Ini dapat dijadikan sebagai bukti bahwa Al-Hadist, sebagaimana Al-Qur’an, sangat memerhatikan urusan akhlak.
               Diantara hadist yang menekankan pentingnya akhlak adalah sabda Rasulullah SAW:
أَكْمَلُ الْمُؤْ مِنِيْنَ إِيْمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا
 “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah orang yang paling bagus akhlaknya.”  (H.R At Tirmidzi)



Dalam hadist yang lain, Rasulullah SAW. pernah menegaskan:
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ
“Setiap agama memiliki akhlak dan akhlak agama Islam adalah rasa malu.” (H.R Imam Malik)
            Islam menuntut setiap pemeluknya untuk menjadikan Rasulullah SAW. sebagai contoh dalam segala aspek kehidupan. Khusus dalam akhlak, Allah SWT. Memuji beliau dengan diiringi sumpah :
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
 “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur.” (Q.S Al-Qalam/68: 4)
            Nabi Muhammad SAW. pun mengabarkan bahwa orang yang paling sempurna keimanannya diantara umatnya adalah yang paling baik akhlaknya. Dengan demikian, seyogianya seorang muslim berusaha dan bersemangat untuk memiliki akhlak yang baik dan merujuk kepada Rasulullah SAW. dalam berakhlak.
            Dalam kaitan dengan kedudukan akhlak, Ibnu Maskawaih menerangkan,
“Islam pada hakikatnya adalah suatu aliran etika. Islam memperbaiki budi pekerti manusia sedemikian rupa sehingga manusia sanggup menjadi anggota masyarakat pergaulan bersama. Islam menanamkan bibit cinta kasih sayang di dalam jiwa manusia.”

B.     Landasan Akhlak
               Dalam Islam, dasar atau alat pengukur yang menyatakan bahwa sifat seseorang itu baik atau buruk adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala sesuatu yang baik menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (Al Hadits), itulah yang baik untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, segala sesuatu yang buruk menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, berarti tidak baik dan harus dijauhi. Berikut penjelasan yang lebih lanjut :
a.       Al – Qur’an
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Artinya : Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (Q.S Al-Qalam: 4)
Maksud dari ‘sesungguhnya kamu’ yaitu pujian Allah bersifat individual dan khusus hanya diberikan kepada Nabi Muhammad Saw. karena kemuliaan akhlaknya dan berbudi pekerti yang agung. Penggunaan istilah khulukin’adhim menunjukkan keagungan dan keanggunan moralitas rasul, yang dalam hal ini adalah Muhammad saw. Banyak nabi dan rasul yang disebut-sebut dalam Al- Qur’an, tetapi hanya Muhammad saw yang mendapat pujian sedahsyat itu. Dengan lebih tegas, Allah pun memberikan penjelasan secara transparan bahwa akhlak Rasulullah sangat layak untuk dijadikan standar modal bagi umatnya, sehingga layak untuk dijadikan idola yang diteladani sebagai uswah hasanah, melalui firman Allah dalam Al- Qur’an surat Al-Ahzab 33:21 berikut ini :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ
الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

Artinya: : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab 33:21)
     Al- Qur’an menggambarkan aqidah orang-orang beriman, kelakuan mereka yang mulia dan gambaran mereka yang tertib, adil, luhur, dan mulia. Berbanding terbalik dengan perwatakan orang-orang kafir dan munafik yang jelek, zalim, dan rendah hati. Gambaran akhlak mulia dan akhlak keji begitu jelas dalam perilaku manusia disepanjang sejarah. Al- Qur’an juga menggambarkan perjuangan para rasul untuk menegakkan nilai-nilai mulia dan murni di dalam kehidupan dan ketika mereka ditentang oleh kefasikan, kekufuran, dan kemunafikan yang menggagalkan tegaknya akhlak yang mulia sebagai teras kehidupan yang luhur dan murni itu.
b.      Al-Hadist
Dalam ayat Al - Qur’an telah diberikan penegasan bahwa Rasulullah merupakan contoh yang layak ditiru dalam segala sisi kehidupannya. Disamping itu, ayat tersebut juga mengisyaratkan bahwa tidak ada satu “sisi-gelap” pun yang ada pada diri Rasulullah, karena semua isi kehidupannya dapat ditiru dan diteladani. Ayat diatas juga mengisyaratkan bahwa Rasulullah sengaja diproyeksikan oleh Allah untuk menjadi “lokomotif” akhlak umat manusia secara universal, karena Rasulullah diutus sebagai rahmatan lil’alamin. Hal ini didukung pula dengan hadist yang berbunyi :
إِنَّمَا بُعِثْتُ ِلأُتَمِّمَ صَالِحَ اْلأَخْلاَقِ
Artinya : Sesungguhnya saya ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.( HR.Muslim).
Hadist tersebut menunjukkan, karena akhlak menempati posisi kunci dalam kehidupan umat manusia, maka substansi misi Rasulullah itu sendiri adalah untuk menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia agar dapat mencapai akhlak yang mulia. Yang menjadi persoalan disini adalah bagaimana substansi akhlak Rasulullah itu. Dalam hal ini, para sahabat pernah bertanya kepada istri Rasulullah, yakni Aisyah r.a. yang dipandang lebih mengetahui akhlak rasul dalam kehidupan sehari-hari, maka Aisyah menjawab :
“Akhlak Rasulullah adalah Al – Qur’an.”
Maksud perkataan Aisyah adalah segala tingkah laku dan tindakan Rasulullah SAW., baik zahir maupun yang batin senantiasa mengikuti petunjuk dari Al-Qur’an. Al-Qur’an selalu mengajarkan umat Islam untuk berbuat baik dan menjauhi segala perbuatan yang buruk. Ukuran yang baik dan buruk ini ditentukan oleh Al-Qur’an.
Oleh karena itu, Islam memiliki hubungan yang sangat erat dengan akhlak. Ini karena Islam diturunkan oleh Allah Swt. Sebabnya akhlak Islam dapat dikatakan sebagai akhlak yang Islami karena akhlak yang bersumber pada ajaran Allah dan Rasul-Nya, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Untuk membangun dan mendidik manusia agar bermoral atau berakhlak baik. Nabi Muhammad SAW. pun menegaskan tugas utamanya, yaitu membangun moralitas manusia. Sabda Nabi:
“Tidaklah aku diutus melainkan untuk menyempurnakan akhlak manusia.”
Akhlak Islami merupakan amal perbuatan yang sifatnya terbuka sehingga dapat menjadi indikator seseorang apakah seorang muslim yang baik atau buruk. Sehingga, akhlak merupakan buah dari akidah dan syariah yang benar. Secara mendasar, akhlak ini erat kaitannya dengan kejadian manusia yaitu Khaliq (pencipta) dan makhluq (yang diciptakan).
Dalam ajaran agama, akhlak adalah buah dari iman dan ibadah. Menurut Al-Ghazali, dapat dibentuk dan diarahkan melalui proses pelatihan (mujahadah) dan proses pembiasaan (riyadhah). Sebagai contoh, siapa yang berkeinginan menjadi orang dermawan, maka ia harus berlatih dan membiasakan diri berinfak dan membelanjakan hartanya di jalan Allah. Ia harus melakukan secara terus menerus sampai kegiatan berinfak itu menjadi suatu kenikmatan baginya.
Dalam berbagai literatur tentang Ilmu Akhlak Islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah), dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk ke dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat zalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk ke dalam akhlak yang buruk. Bagaimanakah terjadinya berbagai akhlak yang mulia dan tercela ini? Uraian berikut ini akan mencoba menjawabnya.
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira atau ksatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut. Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira dan nafsu syahwat yang digunakan secara adil akan menimbulkan iffah yaitu dapat memelihara diri dari perbuatan maksiat. Dengan demikian, inti akhlak pada akhirnya bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan potensi rohaniah yang dimiliki manusia.
Pemahaman tersebut pada akhirnya akan membawa kepada timbulnya teori pertengahan, yaitu bahwa sikap pertengahan sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Pemahaman ini sejalan pula dengan isyarat yang terdpat dalam hadis nabi yang berbunyi,
 “Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan.” (H.R Ahmad)
Sebaliknya akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan oleh penggunaan dari ketiga potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap pintar busuk atau penipu; dan akal yang digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap dungu atau idiot. Dengan demikian akal yang digunakan secara berlebihan atau terlalu lemah merupakan pangkal timbulnya akhlak yang tercela.
            Demikian pula amarah yang digunakan terlalu berlebihan akan menimbulkan sikap membabi buta atau hantam kromo, yaitu berani tanpa memperhitungkan kebaikan dan keburukannya. Sebaliknya, jika amarah digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap pengecut.  Dengan demikian, penggunaan amarah secara berlebihan atau berkurang sama-sama akan menimbulkan akhlak yang buruk. Berkenaan dengan ini di dalam Al-Qur’an dijumpai ayat yang menunjukkan akhlak yang baik yang dihubungkan dengan sikap yang mampu menahan amarah. Allah berfirman.
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(orang-orang yang bertakwa yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.” (Q.S Ali Imran/3: 134)

            Bagi Nabi Muhammad SAW., Al-Qur’an sebagai cerminan berakhlak. Orang yang berpegang teguh pada Al – Qur’an dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari, maka sudah termasuk meneladani akhlak Rasulullah.
Jadi sudah jelas bahwa akhlak atau sistem perilaku ini terjadi melalui satu konsep atau seperangkat pengertian tentang apa dan bagaimana sebaiknya akhlak itu harus terwujud. Konsep atau seperangkat pengertian tentang apa dan bagaimana sebaiknya akhlak itu, disusun oleh manusia di dalam sistem idenya. Sistem ide ini adalah hasil proses (penjabaran) daripada kaidah yang dihayati dan dirumuskan sebelumnya (norma yang bersifat normative dan norma yang bersifat deskriptif). Kaidah atau norma merupakan ketentuan yang timbul dari suatu nilai yang terdapat pada Al-Qur’an atau Sunnah yang telah dirumuskan melalui wahyu Ilahi maupun yang disusun oleh manusia sebagai kesimpulan dari hukum-hukum yang terdapat dalam alam semesta yang diciptakan Allah Swt.
            Setelah pola perilaku terbentuk maka sebagai kelanjutannya akan lahir hasil-hasil dari pola perilaku tersebut yang berbentuk material (artifacts) maupun non-material (konsepsi, ide). Jadi akhlak yang baik itu (akhlakul karimah) ialah pola perilaku yang dilandaskan pada manifestasi nilai-nilai Iman, Islam, dan Ihsan.
Akhlak atau sistem perilaku dapat dididik atau diteruskan melalui sekurang-kurangnya dua pendekatan, yaitu:
      1)      Ransangan jawaban (stimulus-response) atau yang disebut proses mengkondisi sehingga terjadi automatisasi dan dapat dilakukaan dengan cara sebagai berikut:
a.       Melalui cara latihan
b.      Melalui Tanya jawab
c.       Melalui mencontoh
      2)      Kognitif yaitu penyampaian informasi secara teoritis yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut:
a.       Melalui dakwah
b.      Melalui ceramah
c.       Melalui diskusi, dan lain-lain.

C.    Ciri-Ciri Akhlak Dalam Islam
Ciri-ciri akhlak dalam Islam ialah:
1.      Akhlak rabbani
Akhlak rabbani ialah ciri-ciri akhlak dalam Islam yang benar-benar memiliki nilai mutlak. Akhlak rabbani lah yang mampu menghindari kekacauan moralitas dalam kehidupan manusia.
2.      Akhlak manusiawi
Akhlak manusiawi ialah ciri-ciri akhlak yang benar-benar memelihara eksistensi manusia, sebagai makhluk terhormat sesuai dengan fitrahnya.
3.      Akhlak universal
Akhlak universal adalah ajaran yang mencakup seluruh aspek hidup manusia. Baik yang dimensi vertical maupun yang dimensi horizontal, contoh yang wajib di jauhi: Jangan menyekutukan Tuhan, durhaka kepada orang tua, membunuh, makan harta anak yatim, mengurangi takaran atau timbangan.
4.      Akhlak keseimbangan
Akhlak keseimbangan yaitu manusia menurut pandangan Islam memiliki dua kekuatan dalam dirinya, yaitu kekuatan baik pada hati nurani dan akalnya. Dan kekuatan buruk pada hawa nafsunya. Manusia memiliki naluriah hewani dan naluriah ruhaniah malaikat.
Manusia memiliki unsur rohani jasmani yang memerlukan layanan masing-masing secara seimbang.
5.      Akhlak realitas
Akhlak realitas adalah ajaran akhlak dalam Islam memperhatikan kenyataan hidup manusia. Meskipun manusia telah dinyatakan sebagai makhluk yang memiliki kelebihan dibandingkan makhluk-makhluk lain, tetapi manusia mempunyai kelemahan-kelemahan, memiliki kecenderungan manusiawi dengan berbagai macam kebutuhan material dan spiritual. Dengan kelemahan-kelemahan itu manusia sangat mungkin melakukan kesalahan-kesalahan dan pelanggaran, oleh karena itu Islam memberikan kesempatan kepada manusia yang melakukan kesalahan untuk memperbaiki diri dengan bertaubat.
D.    Sistem Penilaian Akhlak
Berikut merupakan uraian system penilaian akhlak menurut beberpa madzhab, aliran, dan paham dalam Islam.
a.       Sistem Ahlu Sunnah
Ahlu sunnah waljama’ah mempunyai arti “ahlu” bermakna golongan dan “asunnah” bermakna segala sesuatu yang dinukil dari Nabi Muhammad SAW. Aljamaah ini banyak sekali yang memberi makna, antara lain golongan yang mayoritas umat Islam yang setia kepada pemimpin umat Islam. Dan adapula yang mengartikan Aljamaah sebagai golongan para sahabat Nabi. Jadi arti dari “ahlu sunnah walajamah” adalah golongan yang berpegang teguh pada Al-Qur’an , sunnah Rasulullah SAW, dan kesepakatan para mujtahid.
Sebelumnya ahli sunnah waljama’ah ini dipelopori oleh Abu Al-Husan Al-Asy’ari (260-320H/873-935M) dan Abu Mansyur Al-Maturidi (332H/943M). mereka membagi kajian ilmunya dengan cara menggali dari Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas.
Segala awamir yang dima’rufkan Allah SWT adalah baik dan segala nawahi yang dimunkarkan Allah SWT adalah buruk. Tidak ada kebaikan atau keburukan secara absolute, tetapi semuanya itu menurut instruksi dari Allah SWT. adapun yang bersifat absolute adalah kekuasaan dan keadilan Allah yang terletak pada iradat-Nya. Namun keadilan tidak wajib bagi Allah, karena apabila wajib maka kekuasaan-Nya tidak mutlak lagi. Ittulah sebabnya para ahli kalam membedakan antara sifat – sifat yang wajib bagi Allah menurut akal dan juga dalil akal yang jumlahnya 13 atau 20 dengan asma’ul husna yang jumlahnya 99.

b.      Sistem Mu’tazilah
Secara bahasa kata mu’tazilah berasal dari kata i’tazila yang berarti “berpisah” atau “memisahkan diri”, yang berarti juga “menjauh” atau “menjauhkan diri”. Secara teknis, istilah mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menyikapi pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan – lawannya, terutama Muawiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair.
Golongan kedua (Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan  teologis yang berkembang dikalangan Khawarij dan Murji’ah akibat peristiwa tahkimMenurut Ahmad tafsir ada mu’tazilah yang lahir karena menghindari bentrokan politis dan ada yang lahir karena bentrokan pemikiran fanatik.
Ajaran pokok ini mempunyai tujuh bagian :
1.      Tentang sifat – sifat Allah.
2.      Kedudukan Al-Qur’an
3.      Melihat Allah di akhirat
4.      Perbuatan manusia
5.      Antropomorisme
6.      Dosa besar
7.      Keadilan Allah

c.       Sistem Jabariyah
Landasan pemikiran  ini adalah bahwa pada hakekatnya perbuatan seorang hamba disandarkan langsung kepada Allah. tidak diminta untuk taat tapi dipaksa untuk melakukan segala perbuatan di luar kehendak dan usahanya, maka Allah SWT menciptakan segala perbuatan sebagaimana dia menciptakan seluruh materi.
Para sejarawan telah banyak berbicara dan menjelaskan siapa yang sebenarnya terlebih dahulu memiliki pendapat di atas dan menyebarkannya. Disini kami tuliskan sedikit pendapat mengenai faham Jabariyah sebagai mana yang di tulis oleh Al-Murtadha dalam Al-Muriyah wa Al-’Amail.
Ulama pertama , Abdullah Bin Abbas, ketika berbicara di hadapan kaum Jabariyah di kota Syam. Dia melontarkan kritik ”Mengapa kalian memerintahkan orang-orang untuk bertaqwa, padahal kalian menyesatkan mereka. Kalian melarang orang-orang berbuat maksiat tetapi kalian justru memperlihatkan kemaksiatan. Wahai putra-putra kaum munafik, penolong kaum zhalim, dan penjaga masjid kaum fasik, kalian hanya berdusta kepada Allah, kalian harus bertanggungjawab atas dosa-dosa kalian kepada Allah.”
  Ulama kedua, Hasan Al-Bashri, berbicara di kota Bashrah, ” Barang siapa yang tidak beriman kepada Allah serta qodho’ dan qodar-Nya, maka dia telah kafir. Sesungguhnya Allah tidak kurang apapun, meskipun ditaati ataupun didurhakai, karena Dia adalah Raja dari segala raja, dan Penguasa dari segala penguasa. Untuk itu, Allah memberi kebebasan kepada manusia: apakah mau taat atau durhaka. Jika Allah memaksa makhluk-Nya supaya taat kepada-Nya, maka mereka tentu tidak akan mendapat pahala. Dan, andaikata mereka dipaksa untuk berbuat maksiat, maka mereka pasti tidak akan disikasa. Semua orang tidak dipaksa oleh kehendak Allah. Untuk itu, jika mereka taat kepada Allah, maka Dia pasti akan menebarkan Rahmat.”   
Pendapat ini sebenarnya sudah mulai muncul pada masa para sahabat, akan tetapi npada awalnya hanya diucapkan kam musyrik sebagaimana dijelaskan oleh Al-Quran. Orang Islam ang pertama kali menyebarkan paham ini adalah Al-Ja’d bin Dirham. Dia menerima faham ini dari orang Yahudi di Syria. Kemudian disebarkan ke Bashrah, terutama kepada Al-Jahm bin Shafaran. Dalam kitab Syarah Al-’Uyun, Al-Jahm bin Shafwan menerima suatu ajaran dari Al-Ja’d bin Dirham yang kemudian dinamakan ajaran al-jahmiyah.sementara itu Al-Ja’d bin Dirham menerima ajaran tersebut dari Ibnu Sam’an, sedangkan Sam’an menerimanya dari Thalut bin A’shim al-Yahudi.
Ajaran Al-Jahm bin Shafwan bukan merupakan aliran Jabariyah, akan tetapi mempunyai ajaran lain di antaranya:
a.       Al-Jahm beranggapan, tidak ada sesuatu apaun yang bersifat kekal.
b.      Keimanan itu merupakan ma’rifat sedangkan kekufuran merupakan kebodohan. Iman adalah pengetahuan dan kufur adalah kebodohan.
c.       Firman Allah itu bersifat baru bukan lama.
d.      Allah Swt tidak mengidentikan diri sebagai ”sesuatu” yang hidup bagaikan alam semesta.
e.       Al-Jahm membantah bahwa Allah Swt bisa dilihat kelak dihari kiamat
          Para ulama salaf dan kholaf telah membantah ajaran tersebut, seperti yang dilakukan hasan Al-Bashri dan sebelumnya Ibnu Abbas. Perlu diketahui ajaran Jabariyah banyak di ingkari oleh banyak kelompok ulam kalam, ahli fiqih, dan ahli hadist.
          Allah Swt berfirman,  aku akan memalingkan orang-orang yang menyombangkan dirinya dimuka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasan-Ku.jika melihat ayat-Ku, mereka tidak beriman kepadanya. Dan jika melihat petunjuk, mereka tidak akan menempuhnya, tetapi jika melihat kesesatan, mereka justru mendekatinya. Hal itu terjadi karena mereka mendustakan ayat-ayat Kami  dan selalu lalai darinya. Begitulah, banyak orang yang mencoba meniti jalan yang disangkanya terang, padahal sebenarnya sesat dan gelap gulita.

d.      Sistem Qodariyah
Aliran ini dipelopori oleh Ghoilan Ad-Dimasyqi dan Ma’bad Al-Juhani. Qodiriyah berasal dari kata qodara (قَدَرَ) yang mengandung arti kemampuan    dan kekuatan. Kaum Qodariyah adalah golongan islam yang meyakini bahwa manusia mempunyai kekuatan mutlak dan kebebasan untuk menentukan segala macam perbuatan sesuai dengan keinginannya tanpa ada intervensi dari tuhan.Jadi menurut Qodariyah manusia harus bebas menentukn nasibnya sendiri. Manusia bebas memilih amal yang baik dan yang buruk, jadi kalau Allah maha adil mestinya memberi pahala orang yang beramal baik dan sebaliknya.
Paham Qodariyah berlawanan dengan paham Jabariyah. Menurut paham Qodariyah, manusia harus bebas dan merdeka memilih amalnya sendiri.
Untuk mengatasi kedua paham yang saling bertentangan , yaitu Qodariyah dan Jabariyah sebaiknya kita menyimak firman Allah dalam surah al-Ra’d [13] ayat 11,: Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan  yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah. Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.

e.       Sistem Shufiyah
Paham sufiyah yang dilansir para sufi berpendapat bahwa pendidikan akhlaq tersusun atas tiga fase:
1.      Fase takhalli atau  takhliyah, yaitu membasmi sifat-sifat duniawiyah yang terdapat dalam diri manusia. Takhliyah zhahiriyah  yaitu menjauhkan diri dari kejahatan tujuh macam anggota maksiat zhahir, ketujuh tersebit adalah faraj, lisan, tangan, mata, telinga, kaki, dan perut. Kemudian, manusia melakukan Takhliyah bathiniyah yang didahului dengan taubat yaitu dengan cara Istigfar, menyesal, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
2.      Fase Tahalli, mengisi jiwa seseorang dengan jiwa mahmudah yang merupakan ibadat qolbi. Maka hiasilah diri nkita dengan taqwa, hati yang bersih, dan sifat siddiq.
3.      Fase Tajalli, adalah pengalaman Puncak yang dicari para pecinta Allah.Dimana fase ini telah jelaslah Allah dalam kehidupan jiwa, fase ini hasil usaha  dari fase pertama dan kedua. Meskipun dalam diri manusia cenderung berbuat kejahatan, namun usaha yang pertama dan yang utama adalah  menjauhkan diri dari larangan Allah. Meninggalkan  larangan-Nya lebih berat dari pada mengerjakan perintah-Nya. Hal ini terjadi karena pengaruh lingkungan. Untuk itu bagi orang tua agar mendidik anaknya dengan baik mulai sedini mungkin.

E.     Problematika Akhlak Pada Zaman Sekarang
 Problematika adalah suatu permasalahan yang terjadi dalam kehidupan.  Sedangkan akhlak adalah suatu perbuatan yang ada dalam diri manusia yang dapat menimbulkan perbuatan baik dan buruk.  Jadi dapat disimpulkan bahwa problematika akhlak adalah suatu permasalan yang terjadi akibat perbuatan manusia.
 Pada zaman sekarang ini seperti yang kita ketahui tekhnologi sudah semakin canggih. Semua orang bisa mendapatkan informasi lebih mudah. Tapi sayang, tidak semua orang memanfaatkan tekhnologi dengan baik. Sehingga banyak menimbulkan berbagai permasalahan akibat tekhnologi. Permasalahan tidak hanya disebabkan karena kecanggihan tekhnologi melainkan juga karena tidak adanya rasa kemanusiaan antar sesama.
Berikut contoh problematika akhlak yang ada di zaman sekarang, diantaranya:
1.      Penipuan
Pada masa sekarang ini sudah banyak terjadi masalah penipuan. Bahkan penipuanpun sudah merajalela akibat perkembangan teknologi. penipuan dengan penggunaan tekhnologi yaitu seperti jual beli online. Penjual menawarkan barang-barang dengan harga murah sehingga membuat pembeli yang awalnya tidak berminat menjadi tertarik untuk membelinya. Sehingga terjadi komunikasi antara penjual dan pembeli. Penjual akhirnya mengirim nomor rekeningnya ke pembeli sehingga pembeli mentransfer dengan jumlah yang sesuai dengan pesanan.  Tapi setelah ditunggu barang tidak kunjung datang.
2.      Pembunuhan
      Pembunuhan kini semakin marak terjadi. Dengan gampangnya seseorang membunuh antar sesamanya. Pembunuhan yang terjadi saat ini sungguh memprihatinkan. Padahal pembunuhan yang terjadi karena adanya masalah tidak seharusnya terjadi. Karena semua masalah bisa diatasi secara baik-baik. Dalam islampun membunuh seseorang itu dosa besar. Tapi karena tidak adanya rasa kemanusiaan sehingga bisa menimbulkan pembunuhan itu terjadi.


3.      Korupsi
Korupsi sudah banyak dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Korupsi sama halnya memakan uang Negara. Orang-orang yang melakukan korupsi cenderung mengabaikan tugas dan wewenangnya. Korupsi terjadi akibat ketidakpuasan atas apa yang dimilikinya dan bisa dikatakan tidak mensyukuri nikmat yang diberikan oleh Allah.
Problematika akhlak ini seharusnya tidak terjadi, tapi karena perbuatan manusia yang tidak pernah berfikir secara rasional akhirnya masalah ini terjadi. Perkembangan zaman sudah membuat manusia lalai akan tanggung jawabnya di dunia. Kebanyakan manusia hanya mementingkan kesenangan dunia daripada kesenangan akhiratnya kelak. Dengan perkembangan tekhnologi juga bisa membuat manusia hilang arah.

BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari sekian banyak uraian yang kami kemukakan, maka kami dapat menyimpulkan bahwa:
a.       Akhlak itu artinya tabiat, budi pekerti, watak, tatakrama, kesusilaan, sopan santun, dan moral. Sedangkan jenisnya terbagi kepada dua bagian yaitu akhlak terpuji (akhlakul mahmudah) dan akhlak tercela (akhlakul mazmumah)
b.      Akhlak bertujuan untuk menciptakan manusia sebagai makhluk yang tinggi dan sempurna, dan membedakannya dari makhluk-makhluk yang lainnya. Sedangkan sumbernya akhlak itu dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu akhlak yang bersumber keagamaan dan akhlak yang bersumber tanpa agama
c.       Akhlak terhadap sesama manusia itu antara lain akhlak terhadap orang tua, akhlak terhadap saudara, akhlak terhadap tetangga, akhlak terhadap sesama muslim, dan akhlak terhadap kaum lemah.

B.     Saran
Makalah ini kami susun dengan tujuan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Pendidikan Akhlak dengan pokok bahasan mengenai “Kedudukan Akhlak Dalam Islam”, maka kami ingin menyampaikan saran sebagai berikut:
a.       Kita sebagai manusia jangan sekali-kali melakukan akhlak yang buruk, tetapi perbanyaklah melakukan akhlak yang baik.
b.      Sebagai orang muslim, kita harus berbuat baik terhadap sesama manusia yaitu kepada saudara, orang tua, kaum lemah dan tetangga. Walau pun kaum lemah dan tetangga itu bukan orang muslim atau berlainan agama.

DAFTAR RUJUKAN

Ahmad Amin, Etika (Ilmu Akhlak), Bulan Bintang, Jakarta, 1975
Asmaran, Pengantar Studi Akhlak, Raja Grafindo.
Rachmat Djatnika, Akhlak Mulia, Pustaka, Jakarta, 1996
Mahyuddin, 1999, Kuliah Akhlak Tasawuf, Jakarta : Kalam Mulia
http://al-bhustomy.blogspot.com/2009/02/eksistensi-akhlak-dalam-islam.html
http://rahmatseptria.blogspot.com/2016/02/jenis-jenis-akhlak-dan-sistem.html 
http://pbs-a01.blogspot.com/2017/12/problematika-akhlak-pada-zaman-sekarang.html

Posting Komentar untuk "Contoh Penulisan Makalah Kedudukan Akhlak Dalam Islam"