Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu-Ilmu Lain

Perkembangan keilmuan dalam Islam melaju dengan cepat dan pasti. Dalam hal ini, Nabi Muhammad  sebagai tokoh penyebar agama Islam, telah memberikan penegasan tentang fungsi dan peran ilmu dalam Islam. Nabi Muhammad bersabda : 
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَمُسْلِمَةٍ

Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim, laki-laki dan perempuan. (H.R. Ibnu Abdil Barr)

Ilmu-ilmu agama Islam muncul pada masa-masa awal Dinasti Abbasiyah (133-766 H/750-1258 M), tepatnya setelah kaum muslimin dapat menciptakan stabilitas keamanan di seluruh wilayah Islam. Kaum muslimin yang tingkat kehidupannya semakin baik, tidak lagi berorientasi untuk memperluas wilayah, melainkan berupaya untuk membangun suatu peradaban melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, muncullah berbagai kegiatan yang berkaitan dengan kebangkitan ilmu pengetahuan. Kegiatan-kegiatan tersebut berupa : 1) penyusunan buku-buku, 2) perumusan ilmu-ilmu Islam, dan 3) penerjemahan manuskrip dan buku-buku berbahasa asing ke bahasa Arab.



Ilmu pengetahuan yang berkembang saat itu, tidak hanya ilmu-ilmu agama Islam. Ilmu-ilmu keduniaan yang memang tidak bisa dipisahkan dari ilmu-ilmu agama juga turut berkembang, sehingga pada masa ini muncul ahli-ahli ilmu bahasa Arab, ahli ilmu alam, dan para filsuf.
Ada beberapa hal yang mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan sebagai berikut.
  1. Masuknya orang-orang non-Arab ke dalam agama Islam (mawali), baik dari Persia, Bizantium, maupun Mesir. Sebagian dari mereka adalah orang dewasa yang sudah memiliki ilmu pengetahuan cukup tinggi, atau memiliki kemampuan di bidang administrasi Negara. Adapun sebagian yang lain, dari kalangan anak-anak di bawah asuhan orang-orang muslim, yang di kemudian hari menjadi ulama, ahli dalam ilmu-ilmu agama Islam.
  2. Dukungan Khalifah Abbasiyah, terutama sejak Abu Ja’far Al-Manshur (137-159 H/734-755 M), untuk melakukan penerjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, serta pembukuan ilmu-ilmu Islam. Penulisan buku-buku ini selain atas dorongan internal kaum muslimin pada waktu itu, juga sebagai upaya untuk melindungi pengaruh pemikiran-pemikiran asing yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
  3. Bertambahnya perhatian dalam menghafal Alquran dan pembukuan hadis, sehingga mempermudah ijtihad dan menemukan ilmu-ilmu agama Islam.
Ilmu-ilmu agama Islam yang timbul di kalangan umat Islam ketika itu, antara lain; ulum Alquran. Ilmu hadis, ilmu fiqh-ushul fiqh, ilmu kalam (Aqidah), ilmu tasawuf, ilmu akhlak, ilmu filsafat Islam, ilmu sejarah Islam, Ilmu pendidikan Islam dan Ilmu dakwah. Sementara itu, akhlak sebagai sebuah disiplin ilmu keislaman tidak dapat lepas dari ilmu-ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu filsafat, tasawuf, psikologi, ilmu kalam dan fiqh.

Secara substansial, pengertian akhlak dan moral tidak terlalu berbeda, keduanya mengacu pada masalah perbuatan baik dan buruk. Oleh karena itu sebagian ahli menyebut bahwa akhlak merupakan konsep moral dalam Islam. Dengan demikian, objek formal dalam kajian akhlak adalah tentang perbuatan baik dan buruk manusia.

Ajaran akhlak dan moral biasanya mengacu pada ajaran yang disampaikan melalui khutbah-khutbah, kumpulan peraturan dan ketetapan, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik. Ajaran-ajaran moral dalam Islam bersumber dari Alquran dan hadis.
Firman Allah :

 وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur. (Q.S. Al-Qalam [68] : 4)

Rasulullah ﷺ memberikan keteladanan kepada umatnya untuk berakhlak mulia. Oleh karena itu, salah satu misi utama diutusnya Nabi Muhammad ﷺ adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Nabi Muhammad bersabda :

إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاقِ 
Sesungguhnya aku diutus ke dunia, semata-mata untuk menyempurnakan akhlak manusia. (H.R. Bukhari, Abu Dawud, dan Hakim)

Akhlak sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, dalam menjalankan fungsinya memiliki keterkaitan dengan ilmu-ilmu yang lain. Lalu seperti apa hubungan ilmu akhlak dengan ilmu-ilmu lainnya? Berikut ini akan dijelaskan hubungan antara ilmu akhlak dengan ilmu-ilmu lainnya.

A.Hubungan Ilmu Akhlak dengan Filsafat
Menurut Al-Farabo (w. 950 M), filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud, dan bertujuan menyelidiki hakikatnya. Sementara menurut Immanuel Kant (1724-1804 M), filsafat merupakan ilmu pokok dari segala pengetahuan yang mencakup empat persoalan, yaitu a) apa yang dapat kita ketahui? (Dijawab oleh metafisika), b) apa yang boleh kita kerjakan? (Dijawab oleh etika, akhlak), c) sampai di mana penghargaan kita? (Dijawab oleh agama), dan d) apa yang dinamakan manusia? (Dijawab oleh antropologi).

Objek kajian filsafat meliputi, alam dengan segala isinya ; manusia, perilaku, dan sikapnya; serta mengenal eksistensi Allah ﷻ. Adapun objek kajian ilmu akhlak adalah perilaku manusia di tengah-tengah masyarakat. Perilaku manusia tersebut dapat diketahui sebagai perbuatan baik atau buruk melalui kajian ilmu filsafat, dengan dasar-dasar ajaran agama.

Pada masa lampau, ketika ilmu-ilmu sangat terbatas, ternyata filsafat menaungi semua ilmu, demikian juga filsuf pada masa itu, mampu menguasai semua ilmu. Pada saat itu, objek kajian filsafat terbagi menjadi dua bagian, pertama, hal-hal yang tidak terdapat intervensi manusia, kecuali yang berkaitan dengan perbuatan manusia (filsafat teoretis). Kedua, hal-hal yang bergantung pada usaha manusia, yaitu tindakan-tindakan manusia (filsafat praktis).

Filsafat teoretis (al-hikmah an-nazhariyyah) terbagi dalam tiga bagian.
  1. Filsafat ketuhanan (al-hikmah al-Ilahiyyah), yaitu yang berkaitan dengan aturan-aturan umum tentang eksistensi, awal mula eksistensi, dan akhir eksistensi.
  2. Fisika (thabi’iyat) yang terbagi dalam beberapa bagian lagi.
  3. Matematika yang juga terbagi dalam beberapa bagian.
Adapun filsafat praktis (al-hikmah al-‘amaliyyah) terbagi dalam tiga bagian.
  1. Akhlak yang menjadi penyebab bagi kebahagiaan atau kesesatan manusia.
  2. Manajemen rumah tangga (tadbir al-manzil) dan segala sesuatu yang berkaitan dengan keluarga.
  3. Politik dan manajemen Negara.
Antara ilmu filsafat dan ilmu akhlak pada awalnya saling berkaitan. Bahkan karya-karya khusus di bidang akhlak juga turut berbicara mengenai manajemen rumah tangga dan politik Negara. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ilmu akhlak merupakan cabang filsafat praktis. Namun demikian, karena sekarang jumlah ilmu sedemikian banyak, ilmu akhlak berdiri menjadi ilmu tersendiri.

B. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Psikologi
Psikologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari gejala jiwa manusia yang normal, dewasa, dan beradab. Menurut Ahmad Amin, psikologi menyelidiki dan membicarakan kekuatan perasaan, paham, mengenal, ingatan, kehendak, kemerdekaan, khayal, rasa kasih, kenikmatan dan rasa sakit. Sementara itu, akhlak membutuhkan sesuatu yang dibahas dalam psikologi. Bahkan psikologi merupakan pengantar bagi akhlak.

Psikologi mempelajari tingkah laku manusia selaku anggota masyarakat, sebagai manifestasi dan aktivitas rohaniah, terutama yang ada hubungannya dengan tingkah laku. Selain itu, psikologi juga membahas interaksi antara satu orang dengan yang lainnya dalam masyarakat. Adapun ilmu akhlak memberikan gambaran kepada manusia tentang perbuatan yang baik dan buruk, perbuatan yang terpuji dan tercela, perbuatan yang halal dan haram.

Sementara itu, psikologi agama menurut Zakiah Daradjat, adalah ilmu yang mempelajari kesadaran agama pada seseorang, yang pengaruhnya terlihat dalam perilaku beragama orang itu dalam kehidupan. Thoeless menyatakan bahwa persoalan pokok dalam psikologi agama, adalah kajian terhadap kesadaran dan tingkah laku agama.

Psikologi agama menelaah ihwal kehidupan beragama pada seseorang, dan mempelajari seberapa besar pengaruh keyakinan agama terhadap sikap dan tingkah laku, serta keadaan hidup pada umumnya. Selain itu, psikologi agama juga mempelajari pertumbuhan dan perkembangan jiwa agama pada seseorang serta faktor-faktor yang mempengaruhi keyakinan tersebut.

Adapun akhlak berupaya mengkaji kehidupan seseorang, seberapa besar pengaruh keyakinan agama terhadap sikap, perilaku serta keadaan hidup pada umumya. Dalam akhlak dipelajari bagaimana cara seseorang bersikap dan berperilaku baik sesuai dengan ajaran agama.

Oleh karena itu, ilmu akhlak memiliki keterkaitan dengan psikologi. Dalam hal ini, psikologi berhubungan dengan tingkah laku, khususnya kejiwaan manusia, sementara ilmu akhlak juga mempelajari tingkah laku manusia. Dengan demikian, antara psikologi dan ilmu akhlak saling membutuhkan. Keduanya saling berkaitan, karena refleksi dari psikologi juga menjadi refleksi dari akhlak seseorang. Pengendalian kejiwaan seseorang sangat dipengaruhi oleh akhlak atau budi pekerti seseorang.

C.Hubungan Ilmu Akhlak dengan Sosiologi
Sosiologi mempelajari perbuatan manusia dalam masyarakat, di mana hal ini juga merupakan objek kajian dalam ilmu akhlak. Manusia tidak dapat hidup tanpa bermasyarakat. Dalam hal ini, ilmu akhlak memberikan gambaran mengenai bentuk masyarakat yang ideal, menyangkut perilaku manusia yang baik dan sesuai dengan ajaran agama dalam masyarakat.

Sosiologi mempelajari tingkah laku, bahasa, agama dan keluarga, bahkan pemerintahan dalam masyarakat. Semua hal tersebut berkaitan dengan tingkah laku yang timbul dari kehendak jiwa (akhlak). Dengan demikian, sosiologi berkontribusi pada ilmu akhlak, dalam merumuskan pengertian tingkah laku manusia dalam kehidupannya.

Ilmu akhlak adalah bagian tidak terpisahkan dengan ilmu sosiologi, mengingat keduanya saling berhubungan. Dengan mempelajari ilmu akhlak, seseorang akan mudah dalam bergaul di masyarakat karena pada dasarnya sosiologi adalah cara hidup bermasyarakat, maka antara ilmu akhlak dengan ilmu sosiologi saling membutuhkan dan keberadaannya saling melengkapi.

Manusia adalah makhluk social, karena itu diperlukan sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari masalah-masalah social manusia. Adapun ilmu akhlak, mempelajari bagaimana seseorang bisa diterima dengan baik dalam komunitasnya, melalui tingkah laku atau perbuatan yang baik. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa antara sosiologi dan ilmu akhlak saling berkaitan.

D.Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Hukum
Antara ilmu hukum dan ilmu akhlak memiliki pokok pembicaraan yang sama, yaitu perbuatan manusia. Tujuannya pun hampir sama, yaitu mengatur perbuatan manusia demi terwujudnya keserasian, keselarasan, keselamatan, dan kebahagiaan. Tata cara manusia bertingkah laku, terdapat pada kaidah-kaidah hukum dan akhlak.

Namun demikian, ruang lingkup ilmu akhlak lebih luas. Dalam hal ini, ilmu akhlak memerintahkan perbuatan yang bermanfaat dan melarang perbuatan yang membahayakan. Adapun ilmu hukum tidak demikian, banyak perbuatan yang jelas-jelas bermanfaat, namun tidak diperintahkan dalam ilmu hukum. Sebagai contoh, berbuat baik kepada fakir miskin, dan perlakuan baik antara suami dan istri. Sebaliknya, terdapat beberapa perbuatan yang jelas-jelas tidak baik, tetapi tidak dicegah dalam ilmu hukum, misalnya dusta dan dengki.

Ilmu hukum tidak membahas hal-hal tersebut, karena tidak mempunyai kapasitas untuk memerintah atau melarang. Ilmu hukum berbicara sesuai aturan dan ketentuan hukumnya, suatu perbuatan dianggap melanggar aturan hukum atau tidak. Jika tidak melanggar ketentuan, hukum membolehkannya, walaupun mungkin bertentangan dengan akhlak.

Hukum islam memiliki lingkup pembahasan lebih lengkap dibanding ilmu akhlak. Dalam hal ini, semua perbuatan yang dinilai baik atau buruk oleh akhlak, akan mendapatkan kepastian hukum tertentu. Misalnya, menyingkirkan duri dari jalan raya, dinilai sebagai perbuatan yang baik,sementara hukum positif menilainya tidak berarti apa-apa. Dalam hukum Islam, ihwal tersebut dinilai sebagai sesuatu yang dianjurkan (mandub).

Dengan demikian, pertalian antara hukum Islam dan akhlak, lebih erat dibandingkan dengan hukum positif atau etika filsafat. Setiap perbuatan yang dinilai oleh akhlak, pasti mendapatkan kepastian hukum Islam, berupa salah satu dari lima kategori, yaitu wajib, sunnah, mubah, haram, dan makruh. Sebaliknya, untuk segala perbuatan yang diputuskan hukumnya oleh hukum Islam, akan dinilai oleh akhlak tentang baik atau buruknya. Ini adalah manifestasi dari luasnya ruang lingkup hukum Islam yang menilai setiap perbuatan.

Di samping itu, ilmu hukum hanya mempelajari tingkah laku dari segi luarnya saja, sedangkan ilmu akhlak melihatnya secara utuh; dari sisi luar dan batin manusia. Ilmu akhlak mengatur agar manusia memiliki perilaku yang baik dan benar, tidak melanggar hukum dan peraturan yang berlaku. Dengan demikian, akan tercipta kehidupan masyarakat yang damai, tenteram, serta terwujud kebahagiaan manusia secara lahir dan batin.

E. Hubungan Ilmu Akhlak dengan Ilmu Pendidikan
Pendidikan tidak bisa dipisahkan dari akhlak, karena pada dasarnya tujuan pendidikan dalam Islam, adalah membentuk perilaku anak didik menjadi lebih baik dan mulia. Hasil pendidikan yang baik, akan menghasilkan perilaku akhlak yang baik pula bagi anak didiknya.

Hakikat pendidikan adalah menyiapkan dan mendampingi seseorang agar memperoleh kemajuan dan kesempurnaan. Kebutuhan manusia terhadap pendidikan beragam, seiring dengan beragamnya kebutuhan manusia. Manusia membutuhkan pendidikan fisik untuk menjaga kesehatan fisiknya. Pendidikan etika untuk menjaga tingkah lakunya, ia membutuhkan pendidikan alam agar dapat mengenal alam, serta berbagai disiplin ilmu yang lain.

Ilmu pendidikan dalam hal ini pendidikan Islam, memang sangat erat kaitannya dengan ilmu akhlak. Menurut Asy-Syaibani, tujuan pendidikan Islam sebagai berikut :
  1. Tujuan yang berkaitan dengan individu, mencakup perubahan yang berupa pengetahuan, tingkah laku, jasmani dan rohani, dan kemampuan-kemampuan yang harus dimiliki untuk hidup di dunia dan di akhirat.
  2. Tujuan yang berkaitan dengan masyarakat, mencakup tingkah laku masyarakat, tingkah laku individu dalam masyarakat, perubahan kehidupan masyarakat dan memperkaya pengalaman masyarakat.
  3. Tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai seni, sebagai profesi dan sebagai kegiatan masyarakat.
Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan Islam adalah bimbingan yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, agar ia berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Singkatnya, pendidikan Islam adalah bimbingan terhadap seseorang agar ia menjadi muslim semaksimal mungkin.

Berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam, menjadi tujuan akhlak. Karena seseorang yang mempelajari akhlak kemudian menjalankannya sesuai ajaran Islam, adalah inti dari menjalankan nilai-nilai pendidikan Islam. Dengan demikian, ilmu pendidikan islam berjalan parallel dengan ilmu akhlak. Hal ini karena antara keduanya sama-sama bertujuan membentuk pribadi sebagai insan kamil, yang menjalankan ajaran Islam sesuai dengan tuntunan yang diajarkan Rasulullah .

F.  Hubungan Ilmu Akhlak dengan Akidah dan Ibadah
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa ilmu akhlak mempelajari perilaku baik dan buruk manusia, maka hubungan ilmu akhlak dengan akidah dan ibadah sangat erat. Islam telah menghubungkan secara erat antara akidah dan akhlak, di mana nilai-nilai akhlak sesungguhnya bertolak dari tujuan-tujuan akhlak.

Akidah merupakan barometer bagi setiap ucapan dan perbuatan dengan segala bentuk interaksi manusia. Berdasarkan keterangan Alquran dan sunnah, seseorang yang beriman kepada Allah, merupakan bukti bahwa ia memiliki akhlak yang terpuji.

Untuk mengetahui hubungan antara akhlak dengan akidah atau keimanan, terlebih dahulu dijelaskan pengertian iman. Iman menurut bahasa berarti membenarkan (at-tashdiq), sedangkan menurut syara’ adalah membenarkan dengan hati, dalam arti menerima dan tunduk pada sesuatu yang berasal dari agama nabi Muhammad ﷺ. Mengenai hal ini, ada yang menyatakan bahwa, selain membenarkan dalam hati, iman juga menuturkan dengan lisan, dan mengerjakan dengan anggota badan. Definisi lain menyebutkan, iman adalah membenarkan Rasul tentang apa yang beliau datangkan dari Tuhannya.

Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa iman bukan sekadar tasdiq (membenarkan) dalam hati, tetapi diperlukan juga sikap menerima dan tunduk. Dengan kata lain, setelah membenarkan dan memercayai dalam hatinya, kemudian juga dilanjutkan dengan realisasi penerimaan lisan, juga diamalkan dengan anggota badan.

Iman tidak hanya memercayai ihwal yang terkandung dalam rukun iman,lebih dari itu, mencakup pengamalan terhadao ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ. Dengan demikian, maka makna iman yang sesungguhnya, I’tiqad bi al-qalbi, wa al-amalu bi al-arkan akan terwujud.

Ar-Raghib Al-Ishfahani menyebutkan, iman terkadang digunakan sebaga nama bagi syariat yang Muhammad datangkan, serta disifatkan kepada orang yang masuk ke dalam syariat Muhammad (mukmin). Selain itu, iman terkadang dipergunakan untuk arti tunduknya jiwa kepada kebenaran atas jalan membenarkannya.

Iman harus dihasilkan dari ilmu, pengetahuan, dan keyakinan. Keyakinan yang benar-benar terhujam dan berakar dalam hati, tanpa ragu sedikit pun, setelah melalui proses pemikiran. Oleh karena itu, iman bersifat teoretis, yang hanya dapat dilihat dan dibuktikan melalui perbuatan dan pengamalan.

Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa hubungan antara akhlak dengan iman sangat erat, keduanya mempunyai titik pangkal yang sama, yaitu hati nurani. Keduanya merupakan gambaran jiwa atau hati yang bersifat abstrak. Akhlak adalah sikap jiwa yang telah tertanam dengan kuat, yang mendorong pemiliknya untuk melakukan perbuatan, sedangkan iman adalah kepercayaan dalam hati yang mempunyai daya dorong terhadap tingkah laku seseorang. Namun demikian, sikap jiwa tersebut tidak selamanya menjurus kepada hal-hal yang baik. Oleh karena itu, iman harus berperan memberikan dorongan terhadap sesuatu yang positif.

Menurut pandangan Islam, akhlak yang baik harus berpijak pada keimanan. Apabila iman melahirkan amal shaleh, dapat dikatakan iman tersebut telah sempurna. Adapun akhlak yang buruk, adalah akhlak yang menyalahi prinsip-prinsip keimanan. Oleh karena itu, apabila ada suatu perbuatan yang tampak baik secara lahir, tetapi dilakukan bukan karena iman, hal tersebut tidak akan mendapat penilaian di sisi Allah.

Rasulullah  bersabda:
أَكْـمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ اِيْــمَانًا اَحْـسَنُهُـمْ خُـلُـقًا
Mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. (H.R. At-Tirmidzi)

Iman merupakan pedoman terbaik bagi manusia dalam mengarungi hidup ini. Iman menjadi sumber pendidikan paling luhur, mendidik akhlak, karakter, dan mental manusia, sehingga dengan iman tersebut manusia dapat mengatur keseimbangan yang harmonis antara rohani dan jasmani.

Jadi, dengan keimanan yang benar-benar telah melekat dalam hati, akan timbul perilaku-perilaku yang baik. Dengan kata lain, dengan iman akan muncullah akhlaq al-karimah.

Iman dapat membuat seorang muslim menjadi ikhlas, mau bekerja keras, bahkan rela berkorban. Iman adalah motivasi dan pendorong yang paling dalam dan paling kuat dalam pribadi seseorang untuk melakukan kegiatan kebaikan dan amal shaleh.

Lalu apa hubungan antara akhlak dan akidah? Korelasi antara keduanya dapat dilihat pada firman Allah, yang mengaitkan keimanan dengan akhlak mulia.

ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmi terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Maidah [5] : 8)

وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ نَقِيراً . وَمَنْ أَحْسَنُ دِيناً مِمَّنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ وَاتَّبَعَ مِلَّةَ إِبْراهِيمَ حَنِيفاً وَاتَّخَذَ اللَّهُ إِبْراهِيمَ خَلِيلاً


Barang siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik ia laki-laki maupun wanita, sedangkan ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikit pun. Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedangkan dia pun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya. (Q.S An-Nisa’ [4]: 124-125)
Rasulullah  juga mengaitkan keimanan dengan akhlak mulia. Dalam sebuah hadis disebutkan:

أَكْـمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ اِيْــمَانًا اَحْـسَنُهُـمْ خُـلُـقًا

Mukmin yang sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. (H.R. At-Tirmidzi)

البر حسن الخلق

Kebaikan itu berakhlak baik. (H.R At-Tirmidzi)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ، أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ : لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنِ الطَّرِيقِ، وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Iman itu ada tujuh puluh cabang lebih, atau enam puluh cabang lebih. Yang paling utama yaitu perkataan Lâ ilâha illallâh, dan yang paling ringan yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan.Dan malu itu termasuk bagian dari iman. (H.R Al-Bukhari dan Muslim)

Antara iman (akidah) dan amal shaleh (akhlak), dianjurkan untuk dilaksanakan secara bersamaan. Iman tidak cukup sekadar disimpan dalam hati, tetapi harus direalisasikan dalam perbuatan nyata dan amal shaleh. Hanya iman yang melahirkan amal shaleh, yang dinamakan iman yang sempurna.
Sabda Nabi Muhammad :                                                          

وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ الْإِيمَانِ


Dan malu itu termasuk bagian dari iman. (H.R At-Tirmidzi)

Hadis tersebut secara implisit menunjukkan keterkaitan iman dengan akhlak. Bahwasanya, rasa malu melakukan hal-hal yang buruk merupakan sebagian dari iman.

Sebaliknya, akhlak buruk adalah perbuatan yang menyalahi prinsip-prinsip keimanan. Sekalipun suatu perbuatan secara lahir tampak baik, jika dilakukan tanpa dasar keimanan, perbuatan tersebut tidak mendapatkan penilaian di sisi Allah.

Adapun hubungan antara ilmu akhlak dengan ibadah, tercermin dari tujuan akhir ibadah, yaitu keluhuran akhlak. Misalnya pada ibadah shalat. Shalat merupakan ibadah terpenting dan yang paling pertama dihisab pada hari kiamat. Dalam hal ini, hikmah disyariatkannya shalat, adalah menjauhkan dari perbuatan keji dan mungkar.
Firman Allah :

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ


Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S Al-Ankabut [29]: 45)

Maka jelaslah bahwa ilmu akhlak memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan akidah dan ibadah. Iman (akidah) dan amal shaleh (ibadah) tidak bisa dipisahkan dengan perilaku manusia, dalam hal ini akhlak manusia. Seseorang yang akidahnya baik, dapat dipastikan akhlaknya baik pula. Sebaliknya, seseorang yang ibadahnya baik, akhlaknya juga sudah pasti baik.

Posting Komentar untuk "Hubungan Ilmu Akhlak Dengan Ilmu-Ilmu Lain"